Jumat, 05 Mei 2023

Tafsir Surat Al-Lahab

Tafsir Surat Al-Lahab (111)

Disusun oleh

Dr. Ahmad Fauzan, S.H.I., M.H

 

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ ١ مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ ٢ سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ ٣ وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ ٤ فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ ٥

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan dia sendiri juga. Akan sia-sia semua harta usahanya. Ia bakal terbakar, melambungkan nyala! Dan bininya, pengangkut kayu api. Di kuduknya terpilin seutas tali”.[1]

 

Pengantar: Surah ini memiliki nama Surah al-Lahab, al-Masad atau Tabbat. Surah ini menggambarkan tentang pembelaan Allah kepada Nabi Muhammad yang mendapat permusuhan dan penolakan sengit dari Abu Lahab. Dia bersama istrinya menampakkan permusuhan dan menggalang banyak orang untuk memusuhi Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Allah memvonisnya dan juga istrinya dengan neraka di saat ia masih hidup. Pejalaran yang dapat dipetik dari ayat ini adalah untuk menghindari sifat buruk seperti yang dimiliki oleh Abu Lahab beserta istrinya, yakni sombong, matrealistik, adu domba/provokasi.[2] Ayat pertama hingga ayat ketiga dalam surah ini membicarakan sosok Abu Lahab. Sedangkan dua ayat terakhir menggambarkan kondisi istri Abu Lahab.

_______

تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ ١

1.    Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia! Kata (تبّت) tabbat atau (تبّ) tabba mengandung makna keputusan atau kepastian yang pada umumnya berakhir dengan kebinasaan. Siapa yang memutuskan diri untuk hanya menoleh kepada sebab dan tidak kepada penyebab (Allah) maka ia telah binasa. Sedangkan kata (يدا) yadā/kedua tangan bahwa kebinasaan tersebut terbatas sekaligus mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan kedua tangan di sini bukan arti hakikinya, tetapi makna majāzi karena biasanya aktivitas manusia terlaksana dengan baik melalui kedua tangannya.[3] Tabba berarti “hilang, rugi, binasa atau rusak”.[4] Orang yang marah terhadap segala yang suci, akan dibakar oleh kemarahannya sendiri. Tangan, yang menjadi alat tindakannya itu, binasa, dan membinasakahan dirinya pula.[5]

Abu Lahab adalah paman Nabi, putra Abdul Muthallib bernama Abdul Uzza. Abu Lahab adalah gelar yang diberikan karena wajahnya memerah seperti api yang menyala. Ini adalah tanda bahwa ia bengis (bukan bercahaya atau bersinar, karena bercahaya/bersinar itu biasanya digunakan untuk tanda orang baik). Abu Lahab adalah orang menyerang dakwah Nabi. Ia selalu membuntuti Nabi ke mana pun beliau berdakwah dan mengasut penduduk agar tidak menerima dakwahnya. Bahkan ia adalah salah satu penyokong utama Perang Badar.[6] Abu Lahab juga dikenal dengan orang yang menjunjung tinggi tradisi-tadisi lama, dan membelanya dengan cara yang dogmatis dan fanatis.[7]

مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ ٢

2.    Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Yakni tidak bermanfaat apa yang dimilikinya disebabkan ia melampaui batas dengan apa yang dimiliki itu berupa harta. Bahkan, harta dan apa yang ia usahakan itu tidak dapat menolak azab Allah.[8] Yang diusahakan dalam ayat ini bermakna pangkat dan popularitas.[9] Pembeda māl (harta) dan kasb (sesuatu yang diusahakan) adalah modal dan untung.[10] Harta dan kedudukan yang dijadikan kebanggan tidak mampu menyelamatkannya. Perempuan yang diciptakan untuk perasaan yang lebih halus, jika digunakan salah, dapat membakar kemarahan yang sudah tidak terkendalikan yang dapat menyebabkan kerugian.[11]

سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ ٣

3.    Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka). Neraka akan mengelilinginya dari segenap penjuru dengan menyala dan panas yang bergejolak.[12] Semua itu terjadi karena tindakan buruk yang Abu Lahab lakukan kepada Rasulullah Saw.[13]

وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ ٤

4.    Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).

Bukan hanya Abu Lahab saja yang menentang dakwah Nabi Muhammad, dakwah tauhid dan pembebasan, namun keluarganya seluruhnya dimobilisir untuk itu, di antaranya istri Abu Lahab.[14]Istri Abu Lahab adalah seorang turunan bangsawan bernama Arwa binti Harb bin Umayyah, pemimpin Quraisy. Ia memiliki leher yang berjenjang (jid), sehingga diberi gelar Ummu Jamil ‘si ibu cantik’.[15] Ayat ini menegaskan bahwa istri Abu Lahab akan diazab sebagaiamana suaminya diazab.[16]

Istri Abu Lahab sangat memusuhi Nabi Saw sehingga mendorongnya untuk membawa duri dan ranting-ranting tajam atau kayu bakar dan diletakkan di jalan yang biasa dilalui oleh Nabi Saw. Namun, Nabi Muhammad Saw justru menginjakknya seperti menginjak kain sutera, yakni tidak membahayakan sama sekali.[17] Ini adalah majaz. Abu Lahab sangat terkenal dengan perangai buruk yang tidak terlihat oleh mata, yaitu: kegemarannya untuk mengadu domba di antara manusia. Itu karena kebiasaan kayu bakar identik dengan api.” Jadi maksud kayu bakar ialah sarana membakar permusuhan di antara manusia. Jadi, adu domba yang disebar di antara manusia, seakan-akan kayu bakar.[18]

Dua orang yang saling mencintai, biasanya akan berperilaku sama. Sebab, mereka adalah pasangan. Dan pasangan memiliki arti kecocokan, keserupaan, dan kesalingan baik dalam sikap, bahkan ciri. Abu Lahab dan istrinya adalah contoh pasangan yang buruk yang dikisahkan sebagai bentuk pelajaran. Ummu Jamil, istri Abu Lahab menjadi pendukung suaminya dalam upaya membenci, menghina bahkan mencelakai Nabi. Dari sini dapat dipetik pelajaran bahwa diperlukan kehati-hatian dalam memilih pasangan. Pilihlah pasangan yang taat dalam Islam, iman dan ihsan. Ketika pasangan memiliki hal demikian, utamanya seorang suami, maka ia akan mengajarkan istri dan keluarga untuk menempuh jalan lurus, jalan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.  

 

 

فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ ٥

5.    Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal. Masad berarti apa saja yang terbuat dari tali yang dipilin, diputar, memutakbalikkan (cerita tentang Nabi Saw.). Dalam pengertian abstraknya, ini memiliki dua makna: pertama, secara tidak langsung mengacu pada sifat perempuan di atas yang bengkok dan menyimpang. Kedua, mengacu pada kebenaran spiritual bahwa “nasib setiap manusia telah Kami ikatkan di lehernya sebagaimana dalam Q.S. Al-Isra’ (17):13.[19]

Sesuatu yang dipintal dan diletakkan pada leher seorang perempuan ialah kalung. Sebuah perhiasan yang menembah kecantikan seorang peremuan. Biasanya kalung ini tersusun dari berbagai benda yang indah, seperti bebatuan, manik-manik, dan jenis lainnya yang pada dasarnya untuk aksesoris yang mempercantik seorang wanita. Namun melalui ayat ini, istri Abu Lahab yang dikenal memiliki leher indah, tempat kalung diletakkan, justru yang ada padanya adalah sabut dari bahan kayu kabar berduri yang ia gunakan untuk menghali dakwah Nabi Muhammad Saw. Sebuah kehinaan yang wajar bagi seorang perempuan yang memusuhi dakwah nabi dengan tindakan dan ucapan.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa ia akan diikat dengan tali yang kuat. Ada pendapat bahwa istri Abu Lahab di dalam neraka kelak akan diazab sambil memikul onggokan kayu sebagai bukti bahwa di dunia, ia gemar menghasut dan membuat fitnah untuk menggagalkan usaha Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam.[20]

 

Wa Allah a’lam.



[1] Mohammad Diponegoro, Pekabaran Puitisasi terjemahan Juz ‘Amma (Jakarta: Kiblat, 2004), h. 116

[2] Sairul Basri Tadabur Juz ‘Amma (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019), h. 350

[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 705

[4] Syekh Fadhlalla, Misteri Juz ‘Amma (Jakarta: Zaman, 2010), h. 306

[5] Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali  Jilid 2 (Bogor: Litera AntarNusa, 2009), h. 1706

[6] Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz Terakhir (Ciputat: Lentera Hati, 2017), h. 370

[7] Syekh Fadhlalla, Misteri Juz ‘Amma (Jakarta: Zaman, 2010), h. 306

[8] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: Al-Qowam, 2016), h. 188

[9] Muhammad Chirzin, Tafsir Al-Fatihah dan Juz ‘Amma (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, t.t), h. 21

[10] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 15 (Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 714

[11] Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali  Jilid 2 (Bogor: Litera AntarNusa, 2009), h.. 1706

[12] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaziri, Tafsir Al-Aisar Jilid 7 (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2011), h. 1072

[13] Wafi Marzuki Ammar, Al-Bayan Tafsir Tematik Al-Qur’an (Surabaya: Sukses Publishing, 2017), h. 540

[14] Yusuf Al-Qaradhawi, Tafsir Juz ‘Amma (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019), h. 798

[15] Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz Terakhir (Ciputat: Lentera Hati, 2017), h. 370

[16] Tim Penyusun, Al-Qur’an Dan Tafsirnya (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1990), h. 839

[17] Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi (Banten), Tafsir Al-Munir (Marah Labid) Jilid 6 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2016), h. 879

[18] Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi , Tafsir Sya’rawi Jilid 15 (Medan: Duta Azhar, 2015), h. 541

[19] Muhammad Asad, The Message of the Quran Jilid 3 (Bandung: Mizan, 2017), h. 1286

[20] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir An-Nur Jilid 4 (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2016), h. 618

Tidak ada komentar:

Posting Komentar