Selasa, 10 Oktober 2023

UZLAH

 

Uzlah

Oleh: Ahmad Fauzan

 

Uzlah ialah pengasingan diri dari segala kemaksiatan dengan memusatkan perhatian hanya kepada Allah semata dengan berzikir dan bertafakur (perenungan) yang mendalam. Syekh Abdul Qodir Al-Jailani mengatakan dalam kitab al-fath al-Rabbany bahwa uzlah harus didasari oleh ilmu dan pemahaman terhadap kondisi yang terjadi di masyarakat yang menyebabkan seseorang beruzlah. Dari sini dapat dilihat bahwa pengasingan itu dilakukan karena kondisi kehidupan yang sudah tidak lagi memungkinkan untuk memurnikan tujuan hidup yang sejatinya hanya untuk beribadah kepada Allah Swt.

Faidah dari uzlah adalah engkau akan manjadi orang teguh pendirian. Seseorang yang tidak lagi disibukkan dengan pandangan selain pandangan-Nya. Hatimu akan dipenuhi rasa syukur dan penuh rindu kepada Pemilik Rindu.  Hidup akan menjadi tenang sebab hilang semua ujub, iri dengki, hasud, kikir, dan sombong serta membanggakan diri.  Bahkan pada puncaknya, dirimulah yang akan hilang.

Uzlah akan menjadikan jiwa dan pikiran seseorang menjadi suci, bersih serta bahagia. Ia akan tenggelam dalam perenungan atas tindak tanduk dirinya kepada Allah Sang Maha Cinta. Uzlah hanya dilakukan oleh mereka yang telah siap menjadi diri sendiri; Seseorang yang telah merdeka. Meski demikian, ia tetap memenuhi kewajiban antar sesama, seperti keluarga, masyarakat maupun alam semesta dengan berbagai cara sebagai wujud khidmat kepada baginda Nabi Muhammad Saw.

Uzlah secara perlahan dapat dilakukan dengan cara menjauhkan diri dari segala apa yang dilarang oleh agama. Meninggalkan keragu-raguan, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang ia tidak memiliki pengetahuan tentangnya (kecuali dengan bertanya pada ahlinya). Sehingga, dari upaya menjauhi larangan itu, engkau akan disibukkan dengan berbagai hal yang mengedepankan kebaikan. Yakni kebaikan dalam ibadah spiritual maupun ibadah sosial.

 

Jumat, 05 Mei 2023

Tafsir Surat Al-Lahab

Tafsir Surat Al-Lahab (111)

Disusun oleh

Dr. Ahmad Fauzan, S.H.I., M.H

 

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ ١ مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ ٢ سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ ٣ وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ ٤ فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ ٥

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan dia sendiri juga. Akan sia-sia semua harta usahanya. Ia bakal terbakar, melambungkan nyala! Dan bininya, pengangkut kayu api. Di kuduknya terpilin seutas tali”.[1]

 

Pengantar: Surah ini memiliki nama Surah al-Lahab, al-Masad atau Tabbat. Surah ini menggambarkan tentang pembelaan Allah kepada Nabi Muhammad yang mendapat permusuhan dan penolakan sengit dari Abu Lahab. Dia bersama istrinya menampakkan permusuhan dan menggalang banyak orang untuk memusuhi Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Allah memvonisnya dan juga istrinya dengan neraka di saat ia masih hidup. Pejalaran yang dapat dipetik dari ayat ini adalah untuk menghindari sifat buruk seperti yang dimiliki oleh Abu Lahab beserta istrinya, yakni sombong, matrealistik, adu domba/provokasi.[2] Ayat pertama hingga ayat ketiga dalam surah ini membicarakan sosok Abu Lahab. Sedangkan dua ayat terakhir menggambarkan kondisi istri Abu Lahab.

_______

تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ ١

1.    Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia! Kata (تبّت) tabbat atau (تبّ) tabba mengandung makna keputusan atau kepastian yang pada umumnya berakhir dengan kebinasaan. Siapa yang memutuskan diri untuk hanya menoleh kepada sebab dan tidak kepada penyebab (Allah) maka ia telah binasa. Sedangkan kata (يدا) yadā/kedua tangan bahwa kebinasaan tersebut terbatas sekaligus mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan kedua tangan di sini bukan arti hakikinya, tetapi makna majāzi karena biasanya aktivitas manusia terlaksana dengan baik melalui kedua tangannya.[3] Tabba berarti “hilang, rugi, binasa atau rusak”.[4] Orang yang marah terhadap segala yang suci, akan dibakar oleh kemarahannya sendiri. Tangan, yang menjadi alat tindakannya itu, binasa, dan membinasakahan dirinya pula.[5]

Abu Lahab adalah paman Nabi, putra Abdul Muthallib bernama Abdul Uzza. Abu Lahab adalah gelar yang diberikan karena wajahnya memerah seperti api yang menyala. Ini adalah tanda bahwa ia bengis (bukan bercahaya atau bersinar, karena bercahaya/bersinar itu biasanya digunakan untuk tanda orang baik). Abu Lahab adalah orang menyerang dakwah Nabi. Ia selalu membuntuti Nabi ke mana pun beliau berdakwah dan mengasut penduduk agar tidak menerima dakwahnya. Bahkan ia adalah salah satu penyokong utama Perang Badar.[6] Abu Lahab juga dikenal dengan orang yang menjunjung tinggi tradisi-tadisi lama, dan membelanya dengan cara yang dogmatis dan fanatis.[7]

مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ ٢

2.    Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Yakni tidak bermanfaat apa yang dimilikinya disebabkan ia melampaui batas dengan apa yang dimiliki itu berupa harta. Bahkan, harta dan apa yang ia usahakan itu tidak dapat menolak azab Allah.[8] Yang diusahakan dalam ayat ini bermakna pangkat dan popularitas.[9] Pembeda māl (harta) dan kasb (sesuatu yang diusahakan) adalah modal dan untung.[10] Harta dan kedudukan yang dijadikan kebanggan tidak mampu menyelamatkannya. Perempuan yang diciptakan untuk perasaan yang lebih halus, jika digunakan salah, dapat membakar kemarahan yang sudah tidak terkendalikan yang dapat menyebabkan kerugian.[11]

سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ ٣

3.    Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka). Neraka akan mengelilinginya dari segenap penjuru dengan menyala dan panas yang bergejolak.[12] Semua itu terjadi karena tindakan buruk yang Abu Lahab lakukan kepada Rasulullah Saw.[13]

وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ ٤

4.    Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).

Bukan hanya Abu Lahab saja yang menentang dakwah Nabi Muhammad, dakwah tauhid dan pembebasan, namun keluarganya seluruhnya dimobilisir untuk itu, di antaranya istri Abu Lahab.[14]Istri Abu Lahab adalah seorang turunan bangsawan bernama Arwa binti Harb bin Umayyah, pemimpin Quraisy. Ia memiliki leher yang berjenjang (jid), sehingga diberi gelar Ummu Jamil ‘si ibu cantik’.[15] Ayat ini menegaskan bahwa istri Abu Lahab akan diazab sebagaiamana suaminya diazab.[16]

Istri Abu Lahab sangat memusuhi Nabi Saw sehingga mendorongnya untuk membawa duri dan ranting-ranting tajam atau kayu bakar dan diletakkan di jalan yang biasa dilalui oleh Nabi Saw. Namun, Nabi Muhammad Saw justru menginjakknya seperti menginjak kain sutera, yakni tidak membahayakan sama sekali.[17] Ini adalah majaz. Abu Lahab sangat terkenal dengan perangai buruk yang tidak terlihat oleh mata, yaitu: kegemarannya untuk mengadu domba di antara manusia. Itu karena kebiasaan kayu bakar identik dengan api.” Jadi maksud kayu bakar ialah sarana membakar permusuhan di antara manusia. Jadi, adu domba yang disebar di antara manusia, seakan-akan kayu bakar.[18]

Dua orang yang saling mencintai, biasanya akan berperilaku sama. Sebab, mereka adalah pasangan. Dan pasangan memiliki arti kecocokan, keserupaan, dan kesalingan baik dalam sikap, bahkan ciri. Abu Lahab dan istrinya adalah contoh pasangan yang buruk yang dikisahkan sebagai bentuk pelajaran. Ummu Jamil, istri Abu Lahab menjadi pendukung suaminya dalam upaya membenci, menghina bahkan mencelakai Nabi. Dari sini dapat dipetik pelajaran bahwa diperlukan kehati-hatian dalam memilih pasangan. Pilihlah pasangan yang taat dalam Islam, iman dan ihsan. Ketika pasangan memiliki hal demikian, utamanya seorang suami, maka ia akan mengajarkan istri dan keluarga untuk menempuh jalan lurus, jalan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.  

 

 

فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ ٥

5.    Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal. Masad berarti apa saja yang terbuat dari tali yang dipilin, diputar, memutakbalikkan (cerita tentang Nabi Saw.). Dalam pengertian abstraknya, ini memiliki dua makna: pertama, secara tidak langsung mengacu pada sifat perempuan di atas yang bengkok dan menyimpang. Kedua, mengacu pada kebenaran spiritual bahwa “nasib setiap manusia telah Kami ikatkan di lehernya sebagaimana dalam Q.S. Al-Isra’ (17):13.[19]

Sesuatu yang dipintal dan diletakkan pada leher seorang perempuan ialah kalung. Sebuah perhiasan yang menembah kecantikan seorang peremuan. Biasanya kalung ini tersusun dari berbagai benda yang indah, seperti bebatuan, manik-manik, dan jenis lainnya yang pada dasarnya untuk aksesoris yang mempercantik seorang wanita. Namun melalui ayat ini, istri Abu Lahab yang dikenal memiliki leher indah, tempat kalung diletakkan, justru yang ada padanya adalah sabut dari bahan kayu kabar berduri yang ia gunakan untuk menghali dakwah Nabi Muhammad Saw. Sebuah kehinaan yang wajar bagi seorang perempuan yang memusuhi dakwah nabi dengan tindakan dan ucapan.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa ia akan diikat dengan tali yang kuat. Ada pendapat bahwa istri Abu Lahab di dalam neraka kelak akan diazab sambil memikul onggokan kayu sebagai bukti bahwa di dunia, ia gemar menghasut dan membuat fitnah untuk menggagalkan usaha Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam.[20]

 

Wa Allah a’lam.



[1] Mohammad Diponegoro, Pekabaran Puitisasi terjemahan Juz ‘Amma (Jakarta: Kiblat, 2004), h. 116

[2] Sairul Basri Tadabur Juz ‘Amma (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019), h. 350

[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 705

[4] Syekh Fadhlalla, Misteri Juz ‘Amma (Jakarta: Zaman, 2010), h. 306

[5] Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali  Jilid 2 (Bogor: Litera AntarNusa, 2009), h. 1706

[6] Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz Terakhir (Ciputat: Lentera Hati, 2017), h. 370

[7] Syekh Fadhlalla, Misteri Juz ‘Amma (Jakarta: Zaman, 2010), h. 306

[8] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: Al-Qowam, 2016), h. 188

[9] Muhammad Chirzin, Tafsir Al-Fatihah dan Juz ‘Amma (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, t.t), h. 21

[10] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 15 (Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 714

[11] Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali  Jilid 2 (Bogor: Litera AntarNusa, 2009), h.. 1706

[12] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaziri, Tafsir Al-Aisar Jilid 7 (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2011), h. 1072

[13] Wafi Marzuki Ammar, Al-Bayan Tafsir Tematik Al-Qur’an (Surabaya: Sukses Publishing, 2017), h. 540

[14] Yusuf Al-Qaradhawi, Tafsir Juz ‘Amma (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019), h. 798

[15] Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz Terakhir (Ciputat: Lentera Hati, 2017), h. 370

[16] Tim Penyusun, Al-Qur’an Dan Tafsirnya (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1990), h. 839

[17] Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi (Banten), Tafsir Al-Munir (Marah Labid) Jilid 6 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2016), h. 879

[18] Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi , Tafsir Sya’rawi Jilid 15 (Medan: Duta Azhar, 2015), h. 541

[19] Muhammad Asad, The Message of the Quran Jilid 3 (Bandung: Mizan, 2017), h. 1286

[20] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir An-Nur Jilid 4 (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2016), h. 618

Senin, 17 April 2023

Tafsir Surah An-Naba’ (78)

 

Surah An-Naba’ (78)

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

عَمَّ يَتَسَاۤءَلُوْنَۚ ١ عَنِ النَّبَاِ الْعَظِيْمِۙ ٢ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ مُخْتَلِفُوْنَۗ ٣ كَلَّا سَيَعْلَمُوْنَۙ ٤ ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُوْنَ ٥ اَلَمْ نَجْعَلِ الْاَرْضَ مِهٰدًاۙ ٦ وَّالْجِبَالَ اَوْتَادًاۖ ٧ وَّخَلَقْنٰكُمْ اَزْوَاجًاۙ ٨ وَّجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًاۙ ٩ وَّجَعَلْنَا الَّيْلَ لِبَاسًاۙ ١٠ وَّجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًاۚ ١١ وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًاۙ ١٢ وَّجَعَلْنَا سِرَاجًا وَّهَّاجًاۖ ١٣ وَّاَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرٰتِ مَاۤءً ثَجَّاجًاۙ ١٤ لِّنُخْرِجَ بِهٖ حَبًّا وَّنَبَاتًاۙ ١٥ وَّجَنّٰتٍ اَلْفَافًاۗ ١٦ اِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ كَانَ مِيْقَاتًاۙ ١٧ يَّوْمَ يُنْفَخُ فِى الصُّوْرِ فَتَأْتُوْنَ اَفْوَاجًاۙ ١٨ وَّفُتِحَتِ السَّمَاۤءُ فَكَانَتْ اَبْوَابًاۙ ١٩ وَّسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًاۗ ٢٠ اِنَّ جَهَنَّمَ كَانَتْ مِرْصَادًاۙ ٢١ لِّلطّٰغِيْنَ مَاٰبًاۙ ٢٢ لّٰبِثِيْنَ فِيْهَآ اَحْقَابًاۚ ٢٣ لَا يَذُوْقُوْنَ فِيْهَا بَرْدًا وَّلَا شَرَابًاۙ ٢٤ اِلَّا حَمِيْمًا وَّغَسَّاقًاۙ ٢٥ جَزَاۤءً وِّفَاقًاۗ ٢٦ اِنَّهُمْ كَانُوْا لَا يَرْجُوْنَ حِسَابًاۙ ٢٧ وَّكَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا كِذَّابًاۗ ٢٨ وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ كِتٰبًاۙ ٢٩ فَذُوْقُوْا فَلَنْ نَّزِيْدَكُمْ اِلَّا عَذَابًا ࣖ ٣٠ اِنَّ لِلْمُتَّقِيْنَ مَفَازًاۙ ٣١ حَدَاۤىِٕقَ وَاَعْنَابًاۙ ٣٢ وَّكَوَاعِبَ اَتْرَابًاۙ ٣٣ وَّكَأْسًا دِهَاقًاۗ ٣٤ لَا يَسْمَعُوْنَ فِيْهَا لَغْوًا وَّلَا كِذّٰبًا ٣٥ جَزَاۤءً مِّنْ رَّبِّكَ عَطَاۤءً حِسَابًاۙ ٣٦ رَّبِّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الرَّحْمٰنِ لَا يَمْلِكُوْنَ مِنْهُ خِطَابًاۚ ٣٧ يَوْمَ يَقُوْمُ الرُّوْحُ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ صَفًّاۙ لَّا يَتَكَلَّمُوْنَ اِلَّا مَنْ اَذِنَ لَهُ الرَّحْمٰنُ وَقَالَ صَوَابًا ٣٨ ذٰلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّۚ فَمَنْ شَاۤءَ اتَّخَذَ اِلٰى رَبِّهٖ مَاٰبًا ٣٩ اِنَّآ اَنْذَرْنٰكُمْ عَذَابًا قَرِيْبًا ەۙ يَّوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُوْلُ الْكٰفِرُ يٰلَيْتَنِيْ كُنْتُ تُرٰبًا ࣖ ٤٠

[1] Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? [2] Tentang berita yang besar (hari kebangkitan) [3] yang dalam hal itu mereka berselisih. [4] Tidak! Kelak mereka akan mengetahui. [5] Sekali lagi tidak! Kelak mereka akan mengetahui. [6] Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan. [7] dan gunung-gunung sebagai pasak? [8] Dan Kami menciptakan kamu berpasang-pasangan, [9] dan Kami menjadikan tidurmu untuk istirahat [10] dan Kami menjadikan malam sebagai pakaian, [11] dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan, [12] dan Kami membangun di atas kamu tujuh (langit) yang kokoh, [13] dan Kami menjadikan pelita yang terang-benderang (matahari), [14] dan Kami turunkan dari awan, air hujan yang tercurah dengan hebatnya, [15] untuk Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tanam-tanaman, [16] dan kebun-kebun yang rindang. [17] Sungguh, hari keputusan adalah suatu waktu yang telah ditetapkan, [18] (yaitu) pada hari (ketika) sangkakala ditiup, lalu kamu datang berbondong-bondong, [19] dan langit pun dibukalah, maka terdapatlah beberapa pintu, [20] dan gunung-gunung pun dijalankan sehingga menjadi fatamorgana. [21] Sungguh, (neraka) Jahanam itu (sebagai) tempat mengintai (bagi penjaga yang mengawasi isi neraka), [22] menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. [23] Mereka tinggal di sana dalam masa yang lama, [24] mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, [25] selain air yang mendidih dan nanah, [26] sebagai pembalasan yang setimpal. [27] Sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan perhitungan. [28] Dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami. [29] Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab (buku catatan amalan manusia). [30] Maka karena itu rasakanlah! Maka tidak ada yang akan Kami tambahkan kepadamu selain azab. [31] Sungguh, orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan, [32] (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, [33] dan gadis-gadis montok yang sebaya, [34] dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). [35] Di sana mereka tidak mendengar percakapan yang sia-sia maupun (perkataan) dusta. [36] Sebagai balasan dan pemberian yang cukup banyak dari Tuhanmu, [37] Tuhan (yang memelihara) langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pengasih, mereka tidak mampu berbicara dengan Dia. [38] Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan dia hanya mengatakan yang benar. [39] Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barang siapa menghendaki, niscaya dia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. [40] Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (orang kafir) azab yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata, “Alangkah baiknya seandainya dahulu aku jadi tanah.”

Pengantar: Surah ini seakan-akan dimulai dengan berbagai macam sumpah yang materinya sumpahnya didustakan oleh kaum musyrik, yakni hari kebangkitan.[1]

__________

عَمَّ يَتَسَاۤءَلُوْنَۚ ١

1. Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Sebagian orang saling bertanya antar sesamanya. Orang-orang saling bertanya karena adanya sesuatu yang besar yang menarik perhatian. Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an begitu indah dalam mengajak manusia berkomunikasi. Al-Qur’an seakan-akan bertanya, padahal tidak. Sesungguhnya Al-Qur’an hanya memotret kehidupan manusia. Orang-orang ini saling mempertanyakan, berselisih dan berdebat mengenai risalah kenabian Muhammad Saw.[2] Orang-orang ini saling bertanya karena mereka mengingkari risalah kenabian itu.

عَنِ النَّبَاِ الْعَظِيْمِۙ ٢

2.      Tentang berita yang besar (hari kebangkitan), berita besar yang saling dipertanyakan adalah Al-Qur’an yang disampaikan oleh Nabi Saw. yang berisi informasi hal yang besar, diantaranya kebangkitan kelak setelah kematian.[3] Mereka tidak hanya saling mempertanyakan, bahkan saling menyalahkan.[4]

 

الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ مُخْتَلِفُوْنَۗ ٣

3. yang dalam hal itu mereka berselisih. Orang-orang yang berselisih terus dalam perselisihannya tanpa henti. Artinya, akan terus jadi karena mereka memperturutkan pertimbangan sendiri.[5] Boleh jadi, perselisihan ini terus terjadi antar lintas generasi dan golongan.

 

كَلَّا سَيَعْلَمُوْنَۙ ٤ ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُوْنَ ٥

4-5. Tidak! Kelak mereka akan mengetahui, sekali lagi tidak! Kelak mereka akan mengetahui. Ayat ini menyatakan bahwa semua orang, baik yang beriman maupun tidak, akan mengetahui akibat pembenaran mereka. Pembenaran itu terkait apa yang mereka perselisihkan.[6]

 

اَلَمْ نَجْعَلِ الْاَرْضَ مِهٰدًاۙ ٦

6. Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan, sesungguhnya bumi itu bola langit yang sangat besar, sehingga nampak datar seperti hamparan. Kemudian dengan itu mudah untuk didiami oleh manusia, hewan dan tumbuhan[7] serta memberi kemaslahatan.[8]

 

وَّالْجِبَالَ اَوْتَادًاۖ ٧

7. dan gunung-gunung sebagai pasak? Ini adalah perumpamaan yang menjadi pengalihan.[9] Allah telah meletakkan gunung-gunung yang kokoh agar bumi itu tidak bergoyang bersama kalian (karena rotasi bumi)[10]

 

وَّخَلَقْنٰكُمْ اَزْوَاجًاۙ ٨

8. Dan Kami menciptakan kamu berpasang-pasangan, segala yang diciptakan Allah Swt memiliki pasangannya. Laki-laki berpasangan dengan perempuan. Dengan demikian tidak dibenarkan pasangan sesama jenis.

 

وَّجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًاۙ ٩

9. dan Kami menjadikan tidurmu untuk istirahat, Allah menjadikan tidur pada malam sebagai penghenti aktivitas, agar tubuh beristirahat dari kepenatan siang hari untuk berusaha dalam berbagai urusan penghidupan. Seandaikan bukan karena tidur, niscaya tubuh telah hilang semangatnya, tidak berdaya, dan tidak mampu bekerja.[11]

وَّجَعَلْنَا الَّيْلَ لِبَاسًاۙ ١٠

10. dan Kami menjadikan malam sebagai pakaian, malam sangat erat dengan tidur. Seseorang akan merasakan nikmatnya tidur hanya di malam hari. Pada malam ini pula, suasana yang gelap menutupi berbagai pandangan, seoalah seperti pakaian yang menutupi tubuh manusia.[12]

وَّجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًاۚ ١١

11. dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan, segala aktifitas dan kesibukan manusia—umumnya—dilakukan pada siang hari, baik yang menyangkut kebutuhan hidup maupun dalam hal mencari penghidupan.[13]

 

وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًاۙ ١٢

12. dan Kami membangun di atas kamu tujuh (langit) yang kokoh, maksudnya adalah dalam penciptaan langit sangat teliti, oleh karena itu langit-langit dideskripsikan dengan kekuatan dan ketebalan.[14]

 

وَّجَعَلْنَا سِرَاجًا وَّهَّاجًاۖ ١٣

13. dan Kami menjadikan pelita yang terang-benderang (matahari), bahwa matahari yang tampak di langit sangat terang dan bersinar.[15] Matahari terus menerus memancarkan sinarnya akibat dari reaksi nuklir yang terjadi di dalamnya. Ahli memperkirakan cahaya Matahari akan tetap hadir hingga 5 miliar tahun mendatang.[16]

Bila direnungi, ayat ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak akan membiarkan makhluknya hidup dalam kegelapan. Kegelapan ialah istilah bagi segala keburukan, hal yang membahayakan, dan kejahatan. Berbeda halnya dengan cahaya yang menerangi, memberi petunjuk serta mengantarkan kepada kebaikan. Itulah Allah, tiada Tuhan yang lain. Sebab Allah adalah pemberi cahaya bagi langit dan bumi serta yang ada di dalamnya. (Q.S. An-Nur [24]:35).

 

وَّاَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرٰتِ مَاۤءً ثَجَّاجًاۙ ١٤

14. dan Kami turunkan dari awan, air hujan yang tercurah dengan hebatnya, itulah hujan yang selalu menyirami bumi; air yang bercucuran ialah hujan yang lebat, yang selalu membagi-bagikan air untuk hidup segala yang bernyawa.[17] Maka, tak pantaslah kita sebagai manusia yang lemah untuk menghujat hujan, terlebih posisi manusia adalah sebagai khalifah di muka Bumi.

Hujan dihujat karena dililai sebagai penyebab bencana seperti banjir maupun tanah longsor. Padahal, itu semua terjadi karena tangan jahil manusia itu sendiri (Q.S. Ar-Rūm [30]:41). Berburuk sangka terhadap hujan patutlah dihindari oleh setiap orang yang beriman. Sebab, hujan adalah bukti keberkahan dan rahmat dari Allah Swt. Hujan adalah sarana untuk tumbuh kembang makhluk Allah tercinta.

 

لِّنُخْرِجَ بِهٖ حَبًّا وَّنَبَاتًاۙ ١٥

15.  untuk Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tanam-tanaman, biji-bijian didahulukan daripada tumbuh-tumbahan dikarenakan makanan pokok manusia berasal dari biji-bijian, seperti beras, gandum, jagung, dan kacang-kacangan.[18]

Pernahkah kita membayangkan siapa yang nenanam pepohonan di hutan-hutan yang menghasilkan oksigen bagi kita bernapas? Siapakah yang menanam dan menumbuhkan rerumputan atau ilalang di tanah lapang? Itu semua adalah Kehendak Allah Swt yang Penuh Kasih Sayang kepada makhluk-Nya. Allah menyediakan segala kebutuhan manusia, mulai dari hujan yang airnya bermanfaat untuk tumbuh berbagai pepohanan dan tanman serta untuk kebutuhan makhluk lainnya, seperti minum dan lainnya.

وَّجَنّٰتٍ اَلْفَافًاۗ ١٦

16. dan kebun-kebun yang rindang. dahan dan daun-daun pepohonan kebun yang kait-berkait, mengelilingi satu dengan lainnya karena lebatnya.[19] Allah menurunkan hujan untuk menumbuhkan berbagai macam tumbuhan, baik yang berbatang maupun merambat. Dengan perantaraan hujan itulah tumbuh pohon-pohon dan kebun-kebun yang indah dan mendatangkan hasil yang banyak.[20]

Kebun yang rindang adalah kebun yang tidak hanya memberi kesejukan di tanah tersebut, namun juga kebun yang menenangkan jiwa. Kebun yang membuahkan berbagai hasil untuk dinikmati dan disyukuri serta dimanfaatkan tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan bagi sesama makhluk. Itulah kebun yang baik, kebun tempat bernaung yang indah.

اِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ كَانَ مِيْقَاتًاۙ ١٧

17. Sungguh, hari keputusan adalah suatu waktu yang telah ditetapkan, dinamakan hari keputusan karena pada hari itu Allah Swt. menetapkan keputusan terkait keimanan seseorang[21] yang melandasi kehidupannya selama di dunia.

يَّوْمَ يُنْفَخُ فِى الصُّوْرِ فَتَأْتُوْنَ اَفْوَاجًاۙ ١٨

18. (yaitu) pada hari (ketika) sangkakala ditiup, lalu kamu datang berbondong-bondong, Maksudnya, hari dimana Malaikat Israfil meniupkan sangkakala. Lantas setelahnya manusia datang ke tempat perkumpulan dengan berkelompok-kelompok.[22]

وَّفُتِحَتِ السَّمَاۤءُ فَكَانَتْ اَبْوَابًاۙ ١٩

19. dan langit pun dibukalah, maka terdapatlah beberapa pintu, dan langit pun terbuka, sehingga seperti pintu-pintu[23] bagi malaikat.[24] Pada waktu itu, misteri tentang langit terkuak. Sekatan mata (kasyaf)  akan terbuka dan semua makhluk langit, seperti malaikat, surga dan neraka menjadi jelas.[25]

وَّسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًاۗ ٢٠

20. dan gunung-gunung pun dijalankan sehingga menjadi fatamorgana. Gunung berjalan seolah debu-debu beterbangan.[26]

اِنَّ جَهَنَّمَ كَانَتْ مِرْصَادًاۙ ٢١

21. Sungguh, Jahanam itu tempat mengintai, neraka jahannam telah ditetapkan oleh Allah Swt sebagai pusat pengintaian guna menangkap dan menggiring orang-orang yang melampauin batas untuk mendapat siksaan.[27] Selain mengintai orang-orang yang melampaui batas, neraka jahannam juga mengintai musuh-musuh Allah dan orang kafir.[28]

لِّلطّٰغِيْنَ مَاٰبًاۙ ٢٢

22. menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. Orang yang melampaui batas ialah orang-orang musyrik,[29] orang-orang yang durhaka, berbuat dosa dan menyalahi Rasul-Nya. Mereka akan kembali pulang menuju tempat terkahir, yakni neraka jahannam.[30]

لّٰبِثِيْنَ فِيْهَآ اَحْقَابًاۚ ٢٣

23. Mereka tinggal di sana dalam masa yang lama, Buya Hamka menjelaskan bahwa kata ahqaba adalah jamak dari huquban, sedangkan huqub menurut orang Arab berarti waktu 80 tahun. Makna lainnya ialah sebagai ungkapan dari makna kekekalan yang disampaikan oleh al-Qurthubi. Bila telah masuk, maka sulit untuk keluar.[31]

لَا يَذُوْقُوْنَ فِيْهَا بَرْدًا وَّلَا شَرَابًاۙ ٢٤

24. mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, maksudnya ialah di dalam neraka itu tidak ada yang menyejukkan kulit dan menghapus dahaga bagi orang-orang yang melampaui batas.[32]

اِلَّا حَمِيْمًا وَّغَسَّاقًاۙ ٢٥

25. selain air yang mendidih dan nanah, yaitu nanah yang bercampur darah dan keringat dari penghuni neraka.[33]

جَزَاۤءً وِّفَاقًاۗ ٢٦

26. sebagai pembalasan yang setimpal. Siksaan tersebut setimpal dengan dosa besar yang mereka lakukan. Tidak ada siska yang paling besar daripada siksa neraka.[34]

اِنَّهُمْ كَانُوْا لَا يَرْجُوْنَ حِسَابًاۙ ٢٧

27. Sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan perhitungan. Ini adalah sebab mereka di azab, yakni karena mereka tidak takut bahkan mengingkari adanya hari perhitungan.[35]

 

وَّكَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا كِذَّابًاۗ ٢٨

28. Dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami. Mereka mengingkarinya dengan kemantapan, padahal itu adalah hal yang sangat aneh. Ini disebabkan mereka tidak mengharap adanya Kebangkitan manusia. Mereka tidak pernah memperhitungkan apa yang akan terjadi di sana, dan ini menjadikan mereka sama sekali tidak melakukan kegiatan kecuali yang berkaitan dengan kehidupan sekarang di dunia ini.[36]

وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ كِتٰبًاۙ ٢٩

29. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab (buku catatan amalan manusia). Setiap tindakan dan perbuatan itu selalu Kami catat dalam buku catatan kebaikan dan keburukan. Dan buku ini senantiasa terjaga dan terpelihara sampai Hari Perhitungan tiba, tanpa ada yang bisa menambah atau mengurangi apa yang tercatat di dalamnya.[37]

 

فَذُوْقُوْا فَلَنْ نَّزِيْدَكُمْ اِلَّا عَذَابًا ࣖ ٣٠

30. Maka karena itu rasakanlah! Maka tidak ada yang akan Kami tambahkan kepadamu selain azab. Ini adalah penegasan. Kata selain azab adalah sebuah ejekan yang sempurna bagi orang yang telah memiliki harapan ketika ia dalam keadaan pesimis.[38] Harapan berupa berakhirnya azab tidak akan terpenuhi, sebab keselahan yang pernah diperbuat dengan menduskatan ayat-ayat Allah.

اِنَّ لِلْمُتَّقِيْنَ مَفَازًاۙ ٣١

31. Sungguh, orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan, sesungguhnya, orang-orang yang takut melanggar apa-apa yang diharamkan oleh Allah dan takut kepada siksaan-Nya akan memperoleh kebahagiaan berupa kemuliaan di sisi-Nya dan pahala yang besar di surga yang dipenuhi dengan kenikmatan.[39] Kata مَفَازًا terambil dari kata فوز yang berarti keselamatan dan keterbebasan dari bencana disertai dengan memperoleh kebajikan.[40]

حَدَاۤىِٕقَ وَاَعْنَابًاۙ ٣٢

32. (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, yakni kebun-kebun yang di dalamnya terdapat buah-buahan uamh lezat, aroma yang harum dan juga indah dipandang mata.[41] Penyebutan buah anggur pada ayat ini adalah sebagai kiasan akan betapa nikmatnya bauh-buahan surga. Yakni, karena anggur merupakan salah satu jenis buah yang banyak manfaat dan paling nikmat rasanya.[42]

وَّكَوَاعِبَ اَتْرَابًاۙ ٣٣

33. dan gadis-gadis cantik yang sebaya, kesenangan bergaul dengan kaum wanita yang biasanya merupakan kesenangan yang memuncak di dunia, akan dialami pula oleh ahli surga dengan cara yang lebih sempurna yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.[43] Penguhuni surga memperoleh istri-istri perawan itu, baik istri-istri semasa di dunia yang berubah menjadi muda kembali (Q.S. 56:35-37), maupun istri-istri baru berupa bidadari-bidadari surga (Q.S. 56:22) bagi yang belum menikah di dunia.[44]

Hal ini tentu berlaku juga bagi para kaum perempuan. Seorang perempuan yang kelak masuk surga, juga akan merasakan kesenangan bergaul dengan lawan jenis yang sempurna. Namun demikian, beberapa kenikmatan tersebut hanyalah gambaran sebagaimana kebanyakan orang menikmati kehidupan dunia, yakni dengan minum-minuman yang memabukkan, dekat dengan perzinahan serta ucapan yang penuh keburukan. Sedangkan kenikmatan tersebut tentu akan berbeda dengan kenikmatan yang ada di surga.

وَّكَأْسًا دِهَاقًاۗ ٣٤

34. dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Gelas gelas ini berisi minuman yang terbuat dari anggur namun tidak memabukkan.[45]

لَا يَسْمَعُوْنَ فِيْهَا لَغْوًا وَّلَا كِذّٰبًا ٣٥

35. Di sana mereka tidak mendengar percakapan yang sia-sia maupun (perkataan) dusta. Suasana di dalam surga adalah kedamaian pikiran, ketenangan dan tenteram, tidak mendengar kata yang sia-sia, seperti kebohongan.[46]

جَزَاۤءً مِّنْ رَّبِّكَ عَطَاۤءً حِسَابًاۙ ٣٦

36. Sebagai balasan dan pemberian yang cukup banyak dari Tuhanmu, artinya balasan yang diinginkan.[47]

 

رَّبِّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الرَّحْمٰنِ لَا يَمْلِكُوْنَ مِنْهُ خِطَابًاۚ ٣٧

37. Tuhan (yang memelihara) langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pengasih, mereka tidak mampu berbicara dengan Dia. Artinya, akan dirasakan hebat kebesaran dan keagunagan Allah Tuhan Sekalian Alam pada hari itu. Meskipun hari itu hari nikmat, hari orang yang bertakwa akan menerima ganjara dan karunia Ilahi, meskipun bagaimana rasa gembira, namun kebesaran Ilahi itu menyebabkan tiada seorang jua pun yang sanggup bercakap.[48] Setiap orang karena melihat, menyadari dan merasakan kebesaran Allah, mereka tidak mampu berkata apa-apa.

 

يَوْمَ يَقُوْمُ الرُّوْحُ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ صَفًّاۙ لَّا يَتَكَلَّمُوْنَ اِلَّا مَنْ اَذِنَ لَهُ الرَّحْمٰنُ وَقَالَ صَوَابًا ٣٨

38. Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan dia hanya mengatakan yang benar. Pada hari itu, Jibril dan Malaikat lainnya yang memiliki kedekatan dan kedudukan tinggi di sisi Allah, tidak dapat berbicara apa pun. Jika ada yang berbicara itu adalah atas izin Allah dan pastilah perkataanya itu sebuah kebenaran. Perktaan itu ialah syafaat kepada orang lain yang memang akan diberi ampunan oleh Allah.[49]

 

ذٰلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّۚ فَمَنْ شَاۤءَ اتَّخَذَ اِلٰى رَبِّهٖ مَاٰبًا ٣٩

39. Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barang siapa menghendaki, niscaya dia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. Ringkasnya, hari kiamat itu pasti terjadi sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi. Bagi mereka yang ingin selamat dari fitnah dan azab-Nya, hendaklah berjalan mendekat menuju Allah dengan memohon kasih sayang-Nya disertai amal saleh dan akhlak mulia.[50]

Jalan menuju Allah ialah jalan cinta. Jalan mencintai Allah dan Rasul-Nya serta orang soleh yang menempuh jalan tersebut. Maka, sebelum menempuh jalan itu, hendaknya setiap muslim dan mukmin memiliki kesadaran bahwa ia akan kembali kepada penciptanya, yakni Allah semata.

اِنَّآ اَنْذَرْنٰكُمْ عَذَابًا قَرِيْبًا ەۙ يَّوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُوْلُ الْكٰفِرُ يٰلَيْتَنِيْ كُنْتُ تُرٰبًا ࣖ ٤٠

40. Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (orang kafir) azab yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata, “Alangkah baiknya seandainya dahulu aku jadi tanah.” Ini adalah kalimat yang memberikan bayang-bayang ketakutan dan penyesalan tentang pengingkaran terhadap hari kiamat beserta proses pembalasan terhadap kehidupan dunia.[51]

Wa Allah a’lam.



[1] Syeikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi Jilid 15 (Medan: Duta Azhar, 2016), h. 3

[2] Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari Jilid 26 Juz ‘Amma (Jakarta: Pustaka Azzam), h.2

[3] Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain Jilid 2 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, h. 1242

[4] Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim (Selangor Malaysia: Klang Book Centre, 2003), h. 879

[5] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), h. 97

[6] Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi Jilid 20 Juz ‘Amma (Jakarta: Pustaka Azzam), h. 4

[7] Tim Penyusun, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 10 (Jakarta: Departemen Agama RI, 2011), h. 524

[8] Taisirul Karimir Rahman, 90

[9] Tafsir Sya’rawi, h. 18

[10] Muhammad Asad, The Message of the Quran Jilid 3 (Bandung: Mizan, 2017), h. 1188

[11] As’ad Mahmud Humad, Tafsir Singkat Al-Qur’an & Terjemah Juz 30 (Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2020), h. 17

[12] Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz Terakhir (Ciputat: Lentera Hati, 2018), h. 5

[13] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz 30 (Semarang: Karya Toha Putra, 1993), h. 5

[14] Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid 12 (Jakarta: Pustaka Azzam), h. 12

[15]Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari Jilid 26 Juz ‘Amma (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 11

[16] Tim Penyusun, Tafsir Salman: Tafsir Ilmiah Atas Juz ‘Amma (Bandung: Mizan, 2014), h. 66

[17] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), h. 99

[18] Firanda Andirja, Tafsir Juz ‘Amma (Jakarta: 2018), h. 29

[19] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 15 (Ciputat: Lentera Hati, 2007), h. 12

[20] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur Jilid 4 (Semarang: Pustaka Rizki Pura, 2016), h. 464

[21] Yusuf Al-Qaradhawi, Tafsir Juz ‘Amma (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019), h. 46

[22] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 15 (Jakarta: Gema Insani Press, 2014), h. 338

[23] Muhammad Chirzin, Tafsir Al-Fatihah dan Juz ‘Amma (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, t.t), h.170

[24] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaziri, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar Jilid 7 (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2011), h. 775

[25] Salam Harun, Secangkir Tafsir Juz ‘Amma (Ciputat: Lentera Hati, 2018 ), h. 9

[26] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: AlQowam, 2016), h. 14

[27] Syaikh Muhammad Abduh, Rahasia Juz ‘Amma (Bandung: Karisma, 2007), h. 8

[28]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir Jilid 5 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020), h. 618

[29] Ibnul Jauzi, Tafsir Ibnul Jauzi Juz ‘Amma (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), h. 12

[30] Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9 (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2021), h. 441

[31] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), h. 104

[32] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Al-Qur’an Jilid 7 (Jakarta: Darul Haq, 2019), h. 449

[33] Tim Penyusun Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir Juz ‘Amma (Bandung: Penerbit Unisba, 2008), h. 14

[34] Ibid

[35] Tim Penyusun, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid X (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1991), h. 567

[36] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 15 (Ciputat: Lentera Hati, 2012), h. 23

[37] ‘Aidh Al-Qarni, Tafsir Muyassar Jilid 4 (Jakarta: Qisthi Press, 2008), h. 513

[38] Syeikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi Jilid 15 (Medan: Duta Azhar, 2016), h. h. 52

[39] Tafsir Al-Maraghi, h. 27

[40] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 15 (Ciputat: Lentera Hati, 2007), h.25

[41] Ibid

[42] ‘Aidh Al-Qarni, Tafsir Muyassar Jilid 4 (Jakarta: Qisthi Press, 2008), h. 514

[43] Tim Penyusun, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid X (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1991), h. 569

[44] Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz Terakhir (Ciputat: Lentera Hati, 2018), h. 13

[45] Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz Terakhir (Ciputat: Lentera Hati, 2018), h. 12

[46] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), h. 107

[47] Ibnul Jauzi, Tafsir Ibnul Jauzi Juz ‘Amma (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), h. 19

[48] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), h. 109

[49] Tim Penyusun Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir Juz ‘Amma (Bandung: Penerbit Unisba, 2008), h. 21

[50] Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani, Tafsir Al-Jilani Jilid 12 (Yogyakarta: Yayasan Baitul Kilmah, 2021), h. 11

[51] Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 12 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 155