Sabtu, 18 April 2020

Puasa Menurut Ahli Tafsir


Puasa Menurut Ahli Tafsir
oleh: Ahmad Fauzan

       Berpuasa di bulan ramadhan, adalah salah satu ciri seorang muslim. Bulan puasa, biasanya selalu disambut dengan meriah. Sebab, puasa adalah penanda awal kita segera meraih kemenangan. Menang atas nafsu[1], menang terhadap keegoisan dan menang atas nama kemanusiaan. Siapapun akan riang gembiara menyambut datangnya bulan ramadhan, yang sering identik dengan menjamurnya iklan sirup dan biskuit kaleng. Berpuasa ini telah dituliskan atau diwajibkan dalam Al-Qur’an berdasar Q.S. Al-Baqarah (2):184 yang hampir semua orang familier terhadap ayat tersebut bahkan tak jarang telah hapal di dalam kepala. Bunyi ayatnya sebagai sebikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”

       Dari ayat di atas, kita bisa membahas secara mendalam mengenai tiga hal pokok yang sangat penting, yaitu keimanan, puasa, dan takwa.

       Pertama, Keminanan. Iman, sering diartikan sebagai kepercayaan, keyakinan, atau akidah. Selanjutnya, iman ini dirumuskan dalam rukun iman yang enam[2]. Kalua seseorang sudah mengimani enam perkara tersbut, seseorang bisa dikategorikan sebagai orang yang beriman. Padahal tidak semudah itu. Enam perkara tersebut haruslah dituangkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, ada standar operasional dalam beriman. Iman, tidak hanya urusan individu semata. Iman ialah keyakinan yang kemudian memancarkan nilai-nilai kemanusian. Tidak akan sempurna iman seseorang apabila ia menzalimi diri sendiri, terlebih pada makhluk lain—bahkan kepada makhluk yang lemah, seperti sungai yang dijadikan tempat membuang sampah, gunung dikeruk, buruknya pengelolaan sampah, penebangan hutang yang ilegal, dan banyak contoh lainnya. Beriman haruslah memperbaiki diri yang kemudian berdampak positif kepada sesama. Karena dalam keimanan ada keselamatan dan kedamaian.

       Kedua, Puasa. Puasa sebagaimana kita ketahui bersama adalah kegiatan menahan diri dari apa yang dapat membatalkannya, dimulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Muhammad Asad dalam Tafsir The Message of the Quran mengatakan bahwa puasa memiliki tujuan untuk menyucikan jiwa dengan proses latihan pengendalian diri dan sadar akan pengalaman hidup yang pernah dilalui. Berpuasa juga sebagai pengingat turunnya Al-Qur’an. Sedangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa tujuan berpuasa adalah untuk membersihkan diri (suci) dari kebiasaan yang jelak dan akhlak yang tidak terpuji. Sayid Muhammad Husain Thabathabai dalam Tafsir Al-Mizan mengatakan bahwa puasa adalah berpantang dari segala yang diidamkan atau diingankan. Berpuasa, pada intinya bukanlah menahan atau berpantang, melainkan mengelola atau memanej keinginan-keinginan dengan baik.

       Ketiga, Ketakwaan. Seringkali kali kita mendengar takwa adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Asad menambahkan, bahwa takwa adalah senantiasa sadar akan Allah (berzikir). Sedangkan Thabathabai menilai takwa sebagai kualitas terpuji yang komprehensif meliputi level keimanan sejati. Dengan demikian, takwa adalah buah dari keimanan yang menjadi pondasi dalam menjalani kehidupan. Sebab, takwa adalah upaya sungguh-sungguh untuk tidak bermaksiat.

       Maka hal yang dapat kita simpulkan adalah, semoga puasa yang kita lakukan dapat menjadikan kita sebagai pribadi dengan keyakinan yang benar serta menjunjung nilai-nilai kemanusian agar memperoleh derajat kehidupan yang lebih baik.

Wa Allah a’lam.



[1] Nafsu (yang buruk) adalah keinginan tanpa pertimbangan akal sehat.
[2] Enam rukun iman: Iman kepada Allah; Iman Kepada malaikat-malaikat Allah; Iman kepada kitab-kitab Allah; Iman kepada nabi dan rasul Allah; Iman kepada hari kiamat; Iman kepada qadha dan qadhar (ketetapan Allah)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar