Tafsir al-Hikmah
Surat Al- Ma’un (103)
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong
dengan) barang berguna."
_______
Surat ini mengajarkan kebaikan yang
tercantum dalam ajaran agama Islam, yakni mengamalkan apa yang ada pada
Al-Qur’an dan Hadis. Hal ini diperkuat dengan firman Allah pada Q.S. Al-Baqarah
(2):256 : “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya
telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.
Barangsiapa ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia
telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah
Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. Hal ini dikarenakan yang membedakan agama
yang satu dengan agama yang lain hanyalah pada tataran ibadah dan ritual.
Sedangkan pengajaran-pengajaran nilai kebaikan dan menjauhi keburukan adalah
ajaran agama universal. Ayat ini didahului dengan pertanyaan "Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama?" adalah tandah bahwa hal ini
sangatlah penting. sebenarya ini bukanlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban,
melainkan perhatian yang mendalam.
Pada ayat kedua menjelaskan bahwa orang yang mendustakan ajaran agama Islam
adalah orang yang menghardik anak yatim. Ini berarti setiap muslim dianjurkan
untuk memiliki kepedulian kepada anak-anak yang tidak memiliki orang tua, baik
yatim maupun piatu. Mereka sangat membutuhkan bantuan dari berbagai pihak,
seperti kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan serta kasih sayang. Ini
dilakukan sampai anak yatim itu dewasa atau menikah sesuai dengan Q.S. An-Nisa
(4):6 “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin”
Karena ini adalah sesuatu yang baik berdasarkan pada Q.S. Al-Baqarah (2):220 ”Tentang
dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah:
"Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik…”Dilarangnya
menghardik anak yatim berlaku apabila anak tersebut tidak melakukan sesuatu
keburukan. Apabila ia melakukan suatu kesalahan kita seharusnya memberikan
bimbingan kepadanya agar tidak mengulangi kesalahan tersebut. Menghardik di
sini juga dapat diartikan sebagai sikap tidak peduli kepada anak yatim,
menolaknya dengan keras dan tidak mau memberikan hak yang harusnya ia terima.
Ayat ketiga juga mengabarkan ciri-ciri orang yang mendustakan ajaran agama
adalah ia yang tidak menganjurkan memberi makan kepada kaum miskin. Kita tentu
mengetahui kebaikan bermula dari niat. Apabila niat untuk memberi makan kaum
miskin belum hadir atau menghilang, kita hanya perlu diingatkan kembali akan
niatan tersebut. Sebagaimana disebut dalam Q.S. Al-‘Asr (103):3 “…saling
menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran”. Serta
dalam Q.S Al-Maidah (3):2 “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan…” Singkatnya, ini adalah sikap tolong menolong. Dan pengingat
terbaik akan niatan yang baik adalah diri sendiri. Mengajak di sini dimulai
dengan mengajak diri sendiri, kemudian keluarga, tetangga, teman dan saudara
untuk memberi makan orang miskin. Atau, bisa juga dengan memberikan kemampuan
atau keahlian kepada orang miskin agar ia dapat bekerja sehingga terpenuhi
kebutuhan pokoknya, yang salah satunya adalah makan. Dipilihnya saling berbagi
makanan karena pangan adalah salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi
oleh seluruh makhluk. Seseorang yang telah makan, tentu ia akan memiliki energi
untuk melakukan sesuatu, khususnya beribadah.
Ayat keempat dan kelima menginformasikan bahwa orang yang solatnya lalai akan
mengalami kecelakaan. Kecelakaan di sini dapat diartikan sebagai kondisi
(buruk) yang tidak diharapkan. Seperti halnya dalam solat, pada dasarnya jiwa
merasa malas untuk melakukannya dan suka melalaikannya. Apalagi jika disertai dengan
kerasnya hati, hiasan akan keindahan dosa, dan rasa condong terhadap syahwat,
bergaul dengan orang-orang yang lalai. Apabila perkara ini ada, maka hampir
dipastikan seseorang akan sulit melaksanakannya. Kalaupun ia melakukannya maka
ia pun melakukannya dengan merasa dibebani, hatinya hampa dari mengingat Allah
ketika melakukannya dan ia berharap bisa segera selesai dari melakukannya.[1]
Selanjutnya orang-orang yang lalai adalah orang-orang yang tidak menghargai
serta melalaikan pelaksanaan dan waktu-waktu solat.[2] Ibnu
Mas’ud mengatakan orang-orang yang lalai adalah orang-orang yang solat tidak
menunaikannya tepat waktu.[3] Lalai
mengisyaratkan bahwa solat mereka tidak sempurna, tidak khusyu’, tidak pula
memperhatikan syarat dan rukun-rukunnya, atau tidak menghayati arti dan tujuan
hakiki dari ibadah tersebut.[4]
Orang-orang yang lalai solatnya adalah mereka yang solat nemun tetap melaksanakan
kemungkaran, sebab dikatakan bahwa solat itu pencegah perbuatan keji dan
kemungkaran. Sebab solat yang baik adalah solat yang minggalkan bekas di dalam
hati dan amal perbuatan mereka.[5] Hal
ini terjadi karena tiadanya perhatian terhadap perintah Allah, karena solat
merupakan bentuk ketaatan yang paling utama.[6]
Berusahalah semaksimal mungkin untuk
memusatkan perhatianmu pada solat agar tidak lalai dari awal hingga akhir.
Karena solat seseorang tidak akan dicatat, kecuali solat yang disertai
pemahaman. Agar hal itu tercapai, maka seseorang yang akan solat hendaknya
menjaga kesuciannya, baik kesucian yang nampak maupun yang kasat mata;
selanjutnya memelihara sunnah-sunnah solat, amal-amal lahiriah yang berkaitan
denganna, zikir-zikir dan bacaan-bacaan tasbihnya; serta hendaklah menjaga ruh
solat, yaitu keikhlasan dan konsentrasi selama solat serta penghayatan hati
akan makna bacaan-bacaannya.[7]
Orang-orang yang berbuat riya atau melakukan suatu amal perbuatan tidak untuk
mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau popularitas di
masyarakat. Perbuatan riya yang ditekankan di sini adalah dalam beribadah,
khususnya solat, menyantuni anak yatim dan kaum miskin. Itu semua dilakukan
hanya untuk mencari kenikmatan disanjung sebagai orang yang dermawan atau ahli
ibadah. Padahal, apa yang dilakukannya itu adalah perbuatan yang melampaui
batas.
Surat ini ditutup dengan contoh orang yang menduskatan ajaran agama yang enggan
memberi bantuan kepada sesama yang sedang mengalami kesulitan dengan apa yang
ia punya, baik tenaga, pikiran, harta benda serta segala potensi yang dapat
meringankan beban saudaranya. Bisa jadi, orang-orang yang enggan memberi
bantuan kepada sesama adalah orang-orang kurang bersosialisasi serta memikirkan
bahwa hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial, sebab perkara individu
hanya akan berlaku untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah kita lakukan.
Wa Allah a’lam.
[1] Ahmad Farid, Zuhud
dan Kelembutan Hati (depok: hazanah Fawa’id, 2016), h. 354
[2] Zainal Arifin Zakaria,
Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar, 2016), h. 887
[4] M. Quraish Shihab,
Tafsir Al-Misbah Jilid 15 (Ciputat: Lentera Hati, 2007), h. 550
[5] Sayyid Qutbh, Tafsir
Fi Zhilalil Qur’an Jilid 12 (Jakarta: Gema Insana, 2000), h. 358
[6] Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: AlQowam,
2016), h.181
[7] Al-Ghazali, Kitabul Al-Arba’in fii Ushuliddin (Jakarta: Pustaka Imani, 2000),
h. 43
Seep mas....
BalasHapus