Tafsir Surat Al-Lahab (111)
Disusun oleh
Dr. Ahmad Fauzan, S.H.I., M.H
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ
لَهَبٍ وَّتَبَّۗ ١ مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ ٢ سَيَصْلٰى نَارًا
ذَاتَ لَهَبٍۙ ٣ وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ ٤ فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ
مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ ٥
“Binasalah
kedua tangan Abu Lahab dan dia sendiri juga. Akan sia-sia semua harta usahanya.
Ia bakal terbakar, melambungkan nyala! Dan bininya, pengangkut kayu api. Di
kuduknya terpilin seutas tali”.[1]
Pengantar: Surah
ini memiliki nama Surah al-Lahab, al-Masad atau Tabbat. Surah ini menggambarkan
tentang pembelaan Allah kepada Nabi Muhammad yang mendapat permusuhan dan
penolakan sengit dari Abu Lahab. Dia bersama istrinya menampakkan permusuhan
dan menggalang banyak orang untuk memusuhi Nabi Muhammad dan para pengikutnya.
Allah memvonisnya dan juga istrinya dengan neraka di saat ia masih hidup. Pejalaran
yang dapat dipetik dari ayat ini adalah untuk menghindari sifat buruk seperti
yang dimiliki oleh Abu Lahab beserta istrinya, yakni sombong, matrealistik, adu
domba/provokasi.[2]
Ayat
pertama hingga ayat ketiga dalam surah ini membicarakan sosok Abu Lahab.
Sedangkan dua ayat terakhir menggambarkan kondisi istri Abu Lahab.
_______
تَبَّتْ
يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ ١
1.
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar
binasa dia! Kata
(تبّت) tabbat atau (تبّ) tabba mengandung makna keputusan
atau kepastian yang pada umumnya berakhir dengan kebinasaan. Siapa
yang memutuskan diri untuk hanya menoleh kepada sebab dan tidak kepada penyebab
(Allah) maka ia telah binasa. Sedangkan kata (يدا)
yadā/kedua tangan bahwa kebinasaan tersebut terbatas sekaligus
mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan kedua tangan di sini bukan
arti hakikinya, tetapi makna majāzi karena biasanya aktivitas manusia
terlaksana dengan baik melalui kedua tangannya.[3]
Tabba berarti “hilang, rugi, binasa atau rusak”.[4] Orang yang marah
terhadap segala yang suci, akan dibakar oleh kemarahannya sendiri. Tangan, yang
menjadi alat tindakannya itu, binasa, dan membinasakahan dirinya pula.[5]
Abu Lahab adalah
paman Nabi, putra Abdul Muthallib bernama Abdul Uzza. Abu Lahab adalah gelar
yang diberikan karena wajahnya memerah seperti api yang menyala. Ini adalah
tanda bahwa ia bengis (bukan bercahaya atau bersinar, karena bercahaya/bersinar
itu biasanya digunakan untuk tanda orang baik). Abu Lahab adalah orang
menyerang dakwah Nabi. Ia selalu membuntuti Nabi ke mana pun beliau berdakwah
dan mengasut penduduk agar tidak menerima dakwahnya. Bahkan ia adalah salah
satu penyokong utama Perang Badar.[6]
Abu Lahab juga dikenal dengan orang yang menjunjung tinggi tradisi-tadisi lama,
dan membelanya dengan cara yang dogmatis dan fanatis.[7]
مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا
كَسَبَۗ ٢
2.
Tidaklah berguna baginya hartanya dan
apa yang dia usahakan. Yakni tidak bermanfaat apa yang dimilikinya disebabkan ia
melampaui batas dengan apa yang dimiliki itu berupa harta. Bahkan, harta dan
apa yang ia usahakan itu tidak dapat menolak azab Allah.[8]
Yang diusahakan dalam ayat ini bermakna pangkat dan popularitas.[9]
Pembeda māl (harta) dan kasb (sesuatu yang diusahakan) adalah
modal dan untung.[10]
Harta dan kedudukan yang dijadikan kebanggan tidak mampu menyelamatkannya.
Perempuan yang diciptakan untuk perasaan yang lebih halus, jika digunakan
salah, dapat membakar kemarahan yang sudah tidak terkendalikan yang dapat
menyebabkan kerugian.[11]
سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ ٣
3.
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang
bergejolak (neraka). Neraka akan mengelilinginya dari segenap penjuru dengan
menyala dan panas yang bergejolak.[12]
Semua itu terjadi karena tindakan buruk yang Abu Lahab lakukan kepada
Rasulullah Saw.[13]
وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ
٤
4.
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa
kayu bakar (penyebar fitnah).
Bukan hanya Abu Lahab saja yang
menentang dakwah Nabi Muhammad, dakwah tauhid dan pembebasan, namun keluarganya
seluruhnya dimobilisir untuk itu, di antaranya istri Abu Lahab.[14]Istri
Abu Lahab adalah seorang turunan bangsawan bernama Arwa binti Harb bin Umayyah,
pemimpin Quraisy. Ia memiliki leher yang berjenjang (jid), sehingga
diberi gelar Ummu Jamil ‘si ibu cantik’.[15]
Ayat ini menegaskan bahwa istri Abu Lahab akan diazab sebagaiamana suaminya
diazab.[16]
Istri Abu Lahab sangat memusuhi Nabi
Saw sehingga mendorongnya untuk membawa duri dan ranting-ranting tajam atau
kayu bakar dan diletakkan di jalan yang biasa dilalui oleh Nabi Saw. Namun,
Nabi Muhammad Saw justru menginjakknya seperti menginjak kain sutera, yakni
tidak membahayakan sama sekali.[17]
Ini adalah majaz. Abu Lahab sangat terkenal dengan perangai buruk yang tidak
terlihat oleh mata, yaitu: kegemarannya untuk mengadu domba di antara manusia.
Itu karena kebiasaan kayu bakar identik dengan api.” Jadi maksud kayu bakar
ialah sarana membakar permusuhan di antara manusia. Jadi, adu domba yang
disebar di antara manusia, seakan-akan kayu bakar.[18]
Dua orang yang saling mencintai,
biasanya akan berperilaku sama. Sebab, mereka adalah pasangan. Dan pasangan
memiliki arti kecocokan, keserupaan, dan kesalingan baik dalam sikap, bahkan
ciri. Abu Lahab dan istrinya adalah contoh pasangan yang buruk yang dikisahkan
sebagai bentuk pelajaran. Ummu Jamil, istri Abu Lahab menjadi pendukung
suaminya dalam upaya membenci, menghina bahkan mencelakai Nabi. Dari sini dapat
dipetik pelajaran bahwa diperlukan kehati-hatian dalam memilih pasangan.
Pilihlah pasangan yang taat dalam Islam, iman dan ihsan. Ketika pasangan
memiliki hal demikian, utamanya seorang suami, maka ia akan mengajarkan istri
dan keluarga untuk menempuh jalan lurus, jalan yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad Saw.
فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ
٥
5.
Di
lehernya ada tali dari sabut yang dipintal. Masad berarti apa saja yang terbuat dari tali yang
dipilin, diputar, memutakbalikkan (cerita tentang Nabi Saw.). Dalam pengertian
abstraknya, ini memiliki dua makna: pertama, secara tidak langsung mengacu
pada sifat perempuan di atas yang bengkok dan menyimpang. Kedua, mengacu
pada kebenaran spiritual bahwa “nasib setiap manusia telah Kami ikatkan di
lehernya sebagaimana dalam Q.S. Al-Isra’ (17):13.[19]
Sesuatu yang dipintal dan diletakkan pada leher seorang
perempuan ialah kalung. Sebuah perhiasan yang menembah kecantikan seorang
peremuan. Biasanya kalung ini tersusun dari berbagai benda yang indah, seperti
bebatuan, manik-manik, dan jenis lainnya yang pada dasarnya untuk aksesoris
yang mempercantik seorang wanita. Namun melalui ayat ini, istri Abu Lahab yang
dikenal memiliki leher indah, tempat kalung diletakkan, justru yang ada padanya
adalah sabut dari bahan kayu kabar berduri yang ia gunakan untuk menghali
dakwah Nabi Muhammad Saw. Sebuah kehinaan yang wajar bagi seorang perempuan
yang memusuhi dakwah nabi dengan tindakan dan ucapan.
Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa ia akan diikat dengan tali yang
kuat. Ada pendapat bahwa istri Abu Lahab di dalam neraka kelak akan diazab
sambil memikul onggokan kayu sebagai bukti bahwa di dunia, ia gemar menghasut
dan membuat fitnah untuk menggagalkan usaha Nabi dalam menyampaikan dakwah
Islam.[20]
Wa Allah a’lam.
[1] Mohammad
Diponegoro, Pekabaran Puitisasi terjemahan Juz ‘Amma (Jakarta: Kiblat,
2004), h. 116
[2] Sairul Basri Tadabur Juz ‘Amma (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2019), h. 350
[3] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati,
2012), h. 705
[4] Syekh Fadhlalla, Misteri Juz ‘Amma (Jakarta:
Zaman, 2010), h. 306
[5] Abdullah
Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali Jilid
2 (Bogor: Litera AntarNusa, 2009), h. 1706
[6] Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz
Terakhir (Ciputat: Lentera Hati, 2017), h. 370
[7] Syekh Fadhlalla, Misteri Juz ‘Amma (Jakarta:
Zaman, 2010), h. 306
[8] Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: Al-Qowam,
2016), h. 188
[9] Muhammad
Chirzin, Tafsir Al-Fatihah dan Juz ‘Amma (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, t.t), h. 21
[10] Wahbah
az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 15 (Jakarta: Gema Insani, 2014), h.
714
[11] Abdullah
Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali Jilid
2 (Bogor: Litera AntarNusa, 2009), h.. 1706
[12] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaziri, Tafsir
Al-Aisar Jilid 7 (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2011), h. 1072
[13] Wafi Marzuki Ammar, Al-Bayan Tafsir
Tematik Al-Qur’an (Surabaya: Sukses Publishing, 2017), h. 540
[14] Yusuf Al-Qaradhawi, Tafsir Juz ‘Amma
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019), h. 798
[15] Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz
Terakhir (Ciputat: Lentera Hati, 2017), h. 370
[16] Tim Penyusun, Al-Qur’an Dan
Tafsirnya (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1990), h. 839
[17] Al-‘Allamah
Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi (Banten), Tafsir Al-Munir (Marah Labid)
Jilid 6 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2016), h. 879
[18] Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi ,
Tafsir Sya’rawi Jilid 15 (Medan: Duta Azhar, 2015), h. 541
[19]
Muhammad Asad, The Message of the Quran
Jilid 3 (Bandung: Mizan, 2017), h. 1286
[20] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir
An-Nur Jilid 4 (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2016), h. 618