Rabu, 16 Januari 2019

Surat Al-Ikhlas


Surat Al-Ikhlas



“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
-------
       Surah ini mempunyai banyak nama, yang paling mahsyur adalah al-Ikhlas karena ini berbicara tentang tauhid murni hanya kepada Allah yang menyucikan-Nya dari segala kekurangan dan membebaskan-Nya dari segala kesyirikan. Surah ini berisi rukun-rukun akidah dan syari’at Islam yang paling penting, yaitu menauhidkan dan menyucikan Allah serta mensifati Allah dengan sifat-sifat sempurna dan menafikan sekutu bagi-Nya.[1] Surat ini setara dengan sepertiga Al-Qur’an, tetapi tidak menggantikan sepertiga Al-Qur’an.[2] Menurut mayoritas ulama, surah ini Makkiyyah. Ia turun sebagai jawaban atas pertanyaan sementara kaum musyrikin yang ingin mengetahui bagaimana Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad saw. Ini karena mereka menyangka bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu sama dengan berhala-berhala mereka.[3]
1.     Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Firman Allah Ta’ala: katakanlah” yakni katakanlah dengan perkataan yang pasti, dengan keyakinan yang mantap dan dengan mengetahui maknanya.[4] Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Juz ‘Amma) menyebutkan kata qèdö@è% mengandung makna bahwa informasi yang disampaikan itu kebenaran yang sudah pasti didukung oleh bukti rasional yang tidak ada sedikit pun keraguan padanya. Dengan kata lain, keberadaaan Dzat Allah yang Esa itu merupakan suatu aksioma (suatu kebenaran yang tidak perlu pembuktian). Ayat ini menegaskan bahwa konsep ketuhanan dalam Islam sangat konsisten, mudah dicerna oleh siapa pun, dan sangat rasional. Allah swt. itu satu dalam dzat-Nya.[5]
       Pengakuan atas Kesatuan, Keesaan, Tunggal-Nya Tuhan, dan nama-Nya ialah Allah. Inilah kepercayaan yang dinamai tauhid. Berarti menyusun pikiran yang suci murni, tulus ikhlas, bahwa tidak mungkin Allah itu lebih dari satu. Sebab pusat kepercayaan dalam pertimbangan akal  yang sehat dan berpikir teratur, hanya sampai kepada satu.[6] Abu Sulaiman Al-Khattabi berkata bahwa kata ymr& adalah sendiri dalam makna dan tidak ada yang menyamainya. [7]
       Boleh jadi, maksud ayat pertama ini adalah sebegai perintah dan pengingat bagi mereka yang percaya kepada Allah untuk mengatakan bahwa Allah itu adalah satu-satunya Tuhan Yang Maha Esa sehingga dengan demikian ia akan menjalankan apa yang diperintahkan serta menjauhi apa yang dilarang oleh Allah.
2.     “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”. Ibnu Mas’ud mengartikan kata yJ¢Á9$# yang bergantung kepada-Nya dalam setiap kebutuhan.[8] Allah swt tidak tergantung kepada person atau benda, tetapi semua person dan benda tergantung kepada Dia. Dia dekat kepada manusia; Dia memelihara manusia; keberadaan manusia karena Dia.[9] Pendapat Ibnu Katsir mengenai ayat kedua ini ialah yang bergantung kepada-Nya semua makhluk dalam kebutuhan dan sarana mereka. Sedangkan dalam Tafsir Al-Jalalain disebutkan bahwa Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu untuk selama-lamanya.
3.     Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan” karena Dia Azza wa Jalla adalah Yang paling mula, Yang tidak ada sesuatu apa pun sebelum-Nya, maka bagaimana bisa diperanakan?[10] dan menurut Tafsir Jalalain karena mustahil hal ini terjadi bagi-Nya. Mustahil Dia beranak. Yang memerlukan anak hanyalah makhluk bernyawa yang menghendaki keturunan yang akan melanjutkan hidupnya. Oleh sebab itu maka Allah swt mustahil memerlukan anak.[11] Ini juga berarti Allah tidak membutuhkan sesuatu secara mutlak.[12]  
4.     “Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." Dengan kata lain Dia tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia baik dalam nama-namaNya, sifat-sifat-sifatNya maupun dalam perbuatan-perbuatanNya.[13] Tidak ada yang sebanding dan setara dengan Dia, baik dalam hakikat wujudnya maupun dalam hakikat efektivitasnya. Ini juga merupakan aktualisasi Dia adalah “Ahad, Maha Esa”.[14] Artinya, bukan hanya dari segi beranak dan diperanakannya, tetapi Allah itu berbeda dengan makhluk dalam segala dimensinya.[15]

Wa Allah a’lam.


[1] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 15 (Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 717
[2] Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Tafsir Juz ‘Amma (Bekasi: Darul Falah, 2016), h. 512
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 605
[4] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: Al-Qowam, 2016), h.191
[5] Aam Amiruddin, Tafsir Al-Qur’an Kontemporer (Bandung: Shofiemedia, 2007), h. 57
[6] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 318
[7] Ibnu Jauzi, Tafsir Ibnu Jauzi Juz ‘Amma (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), h. 455
[8] Ibnu Mas’ud, Tafsir Ibnu Mas’ud (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 1112
[9] Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar, 2015), h. 890
[10] Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Tafsir Juz ‘Amma (Bekasi: Darul Falah, 2016), h. 511
[11] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 319
[12] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: Al-Qowam, 2016), h.191
[13] Ibid
[14] Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 12 (Jakarta: Gema Insani, 2000), h. 378
[15] Aam Amiruddin, Tafsir Al-Qur’an Kontemporer (Bandung: Shofiemedia, 2007), h. 62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar