TAFSIR TEMATIK SEPUTAR AYAT WAKAF
Oleh: Ahmad Fauzan, S.H.I., M.H.
A.
Latar Belakang
Sebagaimana
kita ketahui bersama, Islam, baik dalam ajaran maupun peraturannya, merujuk
pada dua sumber utama, yakni Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an, memiliki empat
(4) hak yang harus dipenuhi bagi siapa saja yang mengimaninya, yakni hak untuk:
dibaca, dihapal, dipelajari, dan diamalkan. Hak tersebut didasari bahwa
Al-Qur’an pasti memiliki segala penjelasan yang dibuthkan oleh manusia berdasar
Firman-Nya dalam Surah An-Nahl (16):89 sebagai berikut:
....وَنَزَّلۡنَا
عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ
لِلۡمُسۡلِمِينَ
“....Dan Kami turunkan kepadamu
Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
Segala hal yang pasti ada pembahasannya
dalam Al-Qur’an, baik secara umum maupun terperinci. Hal dalam Al-Qur’an
tersebut bisa berupa perintah, larangan, kisah, dan hal lain yang misalnya
menyangkut ibadah. Salah satunya adalah wakaf. Berdasar Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004, dikatakan bahwa, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya
guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Di tengah
problem sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan ekonomi
akhir-akhir ini, keberadaan lembaga wakaf menjadi sangat strategis. Disamping
sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga
merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi
sosial).[1]
Dalil
terkait wakaf dalam Al-Qur’an, bila dilihat bisa merujuk pada ayat-ayat
tertentu. Hal ini disebabkan tidak ditemukan ayat yang menjelasakan wakaf
secara redaksional. Untuk itu tulisan ini akan mengkaji ayat-ayat, yang paling
tidak, sering dirujuk sebagai dalil wakaf dalam pandangan para mufassir.
Tulisan ini akan merujuk pada pemikiran beberapa mufassir yang tertuang dalam
kitab tafsirnya. Kitab tafsir tersebut antara lain: Tafsir Al-Azhar karya
HAMKA, Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, dan Tafsir Tematik Kementerian
Agama: Pembangunan Ekonomi Umat. Pemilihan kitab tafsir di atas, dikarenakan
semua kitab tersebut ditulis di Indonesia dan berbahasa Indonesia. Selain
ketiga kitab tafsir di atas, tulisan ini juga akan merujuk pada beberapa kitab
tafsir lainnya, seperti Tafsir Al-Munir karya Wahbah Zuhaily, Tafsir Al-Munir
Marah Labid karya Syaikh Nawawi Banten, Tafsir Message of The Qur’an
karya Muhammad Asad, Tafsir Al-Maraghi, dan kitab tafsir lainnya. Dengan
demikian, tulisan ini diharapkan sebagai upaya memenuhi hak Al-Qur’an untuk
memperlajarinya, khususnya menggali makna wakaf yang terdapat dalam Al-Qur’an
dengan pendekatan berbagai kitab tafsir yang pada akhirnya dapat menjadi
rujukan dalam mengamalkannya.
B.
Pembahasan
1.
Q.S.
Al-Baqarah (2): 261-262
مَّثَلُ
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ
أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنۢبُلَةٖ مِّاْئَةُ حَبَّةٖۗ وَٱللَّهُ
يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ٢٦١
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ثُمَّ لَا
يُتۡبِعُونَ مَآ أَنفَقُواْ مَنّٗا وَلَآ أَذٗى لَّهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ
رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٢٦٢
“Perumpamaan (nafkah
yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa
yang dinafkahkannya itu dengan menyebutnyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati”
Salah satu dari dua pilar Islam adalah
hak-hak manusia; dan membelanjakan harta untuk kesejahteraan manusia merupakan
salah satu hal yang mendapatkan perhatian sangat besar dari Islam. Tujuan Islam
adalah mengangkat level kualitas standar hidup.[2]
Sehingga, akan ditemui tidak sedikit ayat yang menganjurkan orang-orang yang
beriman secara khusus untuk memanfaatkan harta dengan baik sesuai apa yang
telah diarahkan dalam Al-Qur’an. Pada dasarnya harta diciptakan untuk diambil
manfaatnya. Pemanfaatan harta bisa dilakukan dengan dua cara, dengan cara
menghabiskan benda tersebut atau menggunakan harta secara terus menerus dengan
tetap menjaga kelanggengan benda tersebut yakni wakaf.[3]
Muhammad Chirzin mengatakan bahwa, tidakkah kamu
memperhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya menghujam ke tanah dan cabangnya menjulang ke langit.
Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Perumpamaan
kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang cercabut dengan akar-akarnya
dari permukaan bumi; tidak dapat tegak sedikitpun.[4] Pohon,
ialah makhluk Allah yang memiliki keistimewaan dan juga memiliki peran sangat
krusial bagi kehidupan. Pepohonanlah yang memproduksi oksigen bagi kehidupan
seluruh makhluk. Tak bisa terbayang bagaimana bumi tanpa pepohonan hijau yang
memanjakan mata, menyediakan oksigen serta buah-buahan dan manfaat lain yang
tentunya memang kita rasakan.
Infak fi sabilillah itu termasuk
rumpun jihad yang diwajibkan Allah atas umat Islam. Dustur
‘undang-undang, peraturan, hukum’ ini tidak dimulai dengan mewajibkan atau
menugaskan. Tetapi, hanya dimulai dengan anjuran dan memberikan rangsangan.
Ternyata metode ini sangat efektif membangkitkan persaan dan menimbulkan
kesan-kesan yang hidup di dalam jiwa manusia.[5] Sebab,
manusia, betapapun berjalan di muka bumi yang dibatasi oleh ruang dan waktu,
memang sesungguhnya hidap dalam makna (spiritual).[6]
Sedangkan Ahmad Musthafa Al-Maraghi mengatakan bahwa sabilillah adalah
sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada keridaan Allah.[7]
Ayat ini berpesan kepada yang berpunya
agar tidak merasa berat membantu karena apa yang dinafkahkan akan tumbuh
berkembang dengan berlipat ganda. Perumpamaan keadaan yang sangat
mengagumkan dari orang-orang yang menafkahkan harta mereka dengan tulus
di jalan Allah adalah serupa dengan keadaan yang sangat mengagumkan dari
seorang petani yang menabur butir benih. Sebutir benih yang ditanamnya
menumbuhkan tujuh butir, dan pada setiap butir terdapat seratus
biji.[8] Perumpamaan
ini lebih menyentuh hati daripada penyebutan bilangan 700 kali lipat, karena
perumpamaan ini menunjukkan bahwa pahala amal shalih itu dikembangkan oleh
Allah Swt. untuk para pelakunya, sebagaimana tanaman tumbuh subur bagi siapa
yang menanamnya di tanah yang subur.[9]
Pada ayat 262, yang dimaksud dengan al-mannu
ialah menyebut-menyebut pemberian dan membesar-besarkannya kepada pihak
yang diberi. Adapun yang dimaksud al-ażā ialah menyakiti hati orang yang
diberi melalui kata-kata, roman muka yang tidak enak, atau menyumpahinya.[10] Bahwa
orang yang menginfakkan harta di jalan Allah karena menghendaki ridha-Nya, dan
tidak mengiringi kebaikan ini dengan perbuatan-perbuatan jelak lainnya, seperti
menyebut-nyebut kebaikan terhadap orang yang disantuninya, maka mereka ini akan
mendapat pahala di sisi Allah yang tak terhitung banyaknya.[11]
Wahbah az-Zuhaili mengetakan bahwa orang
yang bersedekah karena riya’ dan sum’ah pada hakikatnya adalah
orang yang tidak beriman kepada Allah Swt. dengan keimanan yang benar. Serupa dengan
orang bersedekah dengan riya’ adalah orang yang bersedekah dengan
mengikuti sedekahnya tersebut dengan sikap mengungkit-ngungkit pemberiannya dan
menyakiti perasaan si penerima sedekah.[12] Perintah
untuk tidak mengungkit dan menyakiti perasaan penerima harta yang dinafkahkan
ditujukan tidak hanya kepada orang yang menafkahkan harta itu, melainkan juga
diarahkan kepada keluarganya dan orang-orang yang mengetahuinya.
Wakaf, dalam ayat ini juga bisa
diumpamakan sebagai pohon yang sangat memberi manfaat. Apakah itu wakaf benda
bergerak atau tidak bergerak. Apakah wakaf itu dinilai sebagai wakaf konsumtif
atau wakaf produktif. Wakaf akan memberi manfaat yang tiada putusnya apabila
dilakukan dengan baik dan tulus ikhlas, tidak hanya oleh wakif, melainkan juga
oleh keluarga atau ahli warisnya. Jangan sampai dikemudian hari, sebagaimana
ada kasus yang pernah kita dengar, bahwa ada ahli waris yang menarik harta yang
telah diwakafkan oleh orang tuanya. Tentunya ini menjadi suatu permasalahan
yang sedari awal bisa dicegah dengan sosialisasi perwakafan yang optimal. Selain
itu, hendaknya yang berwakaf atau yang mengelola bahkan penerima wakaf
hendaknya tidak saling membanggakan diri, atau bahkan lebih buruk lagi dengan
mengolok-olok atau menjelakkan institusi wakaf.
Janganlah muncul kekhawatiran bagi
wakif, nazhir, maupun penerima manfaat wakaf tidak mendapat balasan dari Allah
atas apa yang telah melakan lakukan dalam perwakafan. Wakif, tentu saja akan
mendapat balasan apa yang telah ia wakafkan. Nazhir, juga memperoleh hal serupa
karena ia telah dengan sangat profesional dan penuh tanggung jawab pengelola
harta wakaf demi kepentingan bersama. Sedangkan penerima wakaf, tentu akan
memanfaatkan harta wakaf tersebut, dan biasanya juga pihak penerima wakaf akan
mendoakan wakif yang pada dasarnya doa itu juga akan kembali padanya. Itulah
institusi wakaf yang diharapkan terus mendapat perhatian dan peningkatan
pengelolaan sehingga kehidupan umat Muslim dapat menjadi lebih baik dalam
segala aspeknya.
2.
Q.S.
Ali Imran (3): 92
لَن
تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن
شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya.”
Ayat ini
mengajarkan kita untuk termotivasi dalam meraih ridha Allah dengan menafkahkan
harta yang dititipkan di dunia ini, salah satunya ialah dengan berwakaf. Hamka,
mengatakan bahwa, mendermakan barang yang paling dicintai ialah bagian dari
keimanan. Dan seseorang belum akan mencapai kebaikan (birr) atau hidup
yang baik atau jiwa yang baik sebelum melakukan hal tersebut.[13]
Lebih lanjut, Hamka mengatakan bahwa barang yang hendak didermakan itu atau
dinafkahkan mestilah harta yang apabila kita memperolehnya tidak memicingkan
mata. Dengan kata lain, kita menginginkan barang yang bagus ketika
mendapatkanya dari orang lain.
Misalnya,
dalam pemahaman masyarakat pada masa lalu, wakaf hanya berkutat pada benda
tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Siapalah yang tidak tergiur dengan
kepemilikan tanah? Apabila bila lokasi tanah tersebut strategis, tentu akan
menambah nilai jualnya dan makin dicintai dan digaja oleh pemiliknya. Namun,
ayat ini membimbing kita untuk memanfaatkan bagi kebaikan bersama, dengan
mewakafkan tanah tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Wakaf tanah
ini misalnya, mungkin, dalam perhitungan jumlah harta di dunia ia akan terlihat
berkurang. Namun, di sisi Allah, mungkin hal berbeda yang akan terjadi. Ia akan
memperoleh pahala sebagai imbalan menafkahkan harta yang paling ia cintai demi
kemaslahatan bersama. Terlebih apa yang ia nafkahkan atau wakafkan dapat
memberi manfaat dan berkembang menjadi hal yang produktif sehingga dapat
memberikan manfaat yang berkesinambungan dan meningkat, baik jumlah maupun
kualitasnya.
Dalam
Tafsir Tematik Kementerian Agama: Pembangunan Ekonomi Umat, ditekankan pada
kata birr yang maknanya ialah kebajikan.[14]
Ibnu Mas’ud menambahkan bahwa kejujuran [15]akan
membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa ke surga. Syaikh Nawawi
Banten mengatakan bahwa (Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan)
ialah pahala dan surga atau sekali-kali tidak sampai pada tingkatan tawakal dan
takwa.[16]
Sedangkan Muhammad Asad mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada orang yang
beriman, yang akan membuat mereka sadar akan kebutuhan-kebutuhan material sesama
manusia.[17]
Sebab, menurut Imam Syafi’i, Allah akan memuji orang yang memberi atau
menafkahkan hartanya dengan baik.[18]
M.
Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat ini mengemukakan kapan dan bagaimana
nafkah seseorang dapat bermanfaat. Yakni, bahwa yang dinafkahkan hendaknya
harta yang disukai karena kamu sekali-kali tidak meraih kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan dengan cara yang baik dan tujuan
serta motiasi yang benar sebagian dari apa, yakni harta benda yang
kamu sukai. Jangan khawatir merugi atau menyesal dengan pemberianmu yang
tulus. Kata (ٱلۡبِرَّ) al-birr
pada mulanya berarti keluasan dalam kebajikan. Dari akar kata yang sama,
daratan dinamai al-barr karena luasnya. Kebajikan mencakup segala bidang
termasuk keyakinan yang benar, niat yang tulus, kegiatan badaniah serta tentu
saja menginfakkan harta di jalan Allah. Al-birr adalah sesuatu yang
tenang hati dan tenteram jiwa menghadapinya.[19]
Abdullah
Yusuf Ali mengatakan bahwa, ayat ini menginformasikan ujian dalam mengeluarkan
sedekah, adakah yang kita berikan itu sesuatu yang sangat berharga buat kita,
sesuatu yang dicintai. Perintah Allah agar kita tidak hanya mementingkan diri
sendiri, dan tidak ada perbuatan demikian yang tidak diketahui Allah.[20]
Wakaf, boleh dibilang ia bentuk sedekah yang memiliki dampak yang tidak biasa.
Sebab, wakaf ialah bentuk sedekah yang tujuannya menahan benda (yang boleh jadi
dicintai, atau diinginkan oleh setiap orang untuk dimiliki) yang kemudian
diberikan manfaatnya bagi orang banyak setelah beralihnya status kepemilikan
tersebut. Mewakafkan harta adalah salah satu bentuk ujian, sebab, Al-Qur’an
sendiri mengatakan bahwa akan terasa indah dalam pandangan manuis mencintai apa
yang ia inginkan, termasuk harta (Q.S. Ali Imran [3]:14)
‘Aidh
al-Qarni mengatakan seseorang tidak akan mencapai amal ibadah yang paling utama
dan kedudukan yang paling agung sebelum kalian menyedekahkan harta yang paling
utama, paling disukai, paling mahal, paling bagus, sebelum kalian lebih
mengutamakan Allah Swt. daripada diri kalian sendiri, dan sebelum kalian
menyedekahkan sesuatu yang kalian pilih untuk diri kalian karena Allah Swt.[21]
Tentulah ketika mengaharap ridha Allah dalam menginfakkan harta tersebut,
jangan sampai terbersit keinginan agar dilihat, dipuji oleh sesama. Hendaklah
kegiatan tersebut didasari oleh niat murni sebagai ibadah dan bentuk tanggung
jawab sesama makhluk Allah yang harus saling tolong menolong dalam kebaikan dan
takwa (Q.S. Al-Maidah [5]: 2).
Sahabat
Nabi Saw., yang setelah mengetahui ayat ini langsung menafkahkan harta yang
paling ia cintai, dalam hal ini mewakafkan kebun ialah Abu Thalah dan Umar. Abu
Thalhah menginfakkan kebun Bairaha’, sedangkan Umar Umar mewakafkan kebun dari
hasil perang Khaibar setelah mendapat arahan dari Rasulullah Saw.[22]
3.
Q.S.
An-Nahl (16):97
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ
وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ
أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
٩٧
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.”
Ayat ini merupakan dorongan/motivasi
bagi laki-laki dan perempuan untuk bersemangat menunaikan amal-amal ketaatan
dan kewajiban-kewajiban agama.[23]
Dan di dalam ayat ini juga dijelasakan lagi bahwa dalam hal amal shalih dan
iman itu samalah kedudukan di antara laki-laki dan perempuan. Masing-masing
sama-sama sanggup menumbuhkan iman dalam hatinya dan masing-masing pun sanggup
berbuat baik.[24] Muhammad Asad mengatakan bahwa
kehidupan yang baik adalah kebahagiaan dalam kesadarannya akan kemahahadiran
Allah atau pada kebahagiaan yang menantinya di akhirat, atau pada keduanya.[25]
Menurut
Haidar Bagir dalam bukunya mengutip pandangan Aristoteles, bahwa pada puncaknya tujuan dari tindakan-tindakan etis adalah
ketenangan dan kebahagiaan.[26] Kita hendaknya hidup secara bermoral karena itulah jalan menuju
kebahagiaan. Dalam hubungan ini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Pertama,
kebahagiaan sejati sebagai tujuan terakhir manusia tidak perlu dipertentangkan
dengan tujuan akhir yang disebutkan oleh agama. Kedua, kalau
kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia, maka sekaligus menjadi jelas bahwa
beberapa hal yang umumnya menjadi tujuan hidup tidak memadai. Ketiga,
perlu diperhatikan bahwa kebahagiaan tidak bisa langsung diusahakan.[27] Karena
esensi kebahagiaan kita sesungguhnya identik dengan kenyataan bahwa
sesungguhnya manusia berasal dari Tuhan.[28]
Kata (صالح) shȃlih/saleh dipahami dalam arti baik, serasi, atau bermanfaat
dan tidak rusak. Seseorang dinilai beramal saleh apabila ia dapat
memelihara nilai-nilai sesuatu sehingga kondisinya tetap berfungsi dengan baik
dan bermanfaat. Dicakup juga oleh kata beramal saleh upaya seseorang
menemukan sesuatu yang hilang atau berkurang nilainya, tidak atau kurang
berfungsi dan bermanfaat, lalu melakukan aktivitas (perbaikan) sehingga yang
kurang atau hilang itu dapat menyatu kembali dengan sesuatu itu. Sedangkan
Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa amal saleh adalah segala perbuatan yang sesuai
dengan dalil akal, Al-Qur’an dan atau sunnah Nabi Muhammad Saw. [29]
Amal saleh tanpa iman akan menjadi sia-sia belaka. Di sisi lain, keterkaitan
amal saleh dan iman menjadikan pelaku amal saleh melakukan kegiatannya tanpa
mengandalkan imbalan segera serta membekalinya dengan semangat berkorban tan
upaya beramal sebaik mungkin.[30]
Pada ayat ini, penulis melihat bahwa
tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam berbuat kebaikan,
termasuk berwakaf. Namun, yang perlu menjadi sorotan ialah dalam praktiknya, boleh
jadi, orang yang mewakafkan harta bendanya masih didominasi oleh pihah
laki-laki. Atau, dalam hal lain ialah yang berwakaf biasanya seseorang yang
sudah dianggap mencapai usia dewasa atau memiliki kemapanan ekonomi. Padahal,
menurut ketua Badan Wakaf Indonesia Mohammad
Nuh, seharusnya, anak muda atau kaum millenial harus mengambil
peran aktif dalam kehidupan, termasuk dalam hal wakaf, yang dalam hal ia
contohnya dengan wakaf tunai.[31]
Penanaman nilai-nilai kebaikan,
khususnya dalam hal ini ialah wakaf (misalnya wakaf uang) dapat dipupuk sejak
dini. Hal tersebut bisa dimulai dari diri sendiri, yang kemudian diharapkan
menjadi pemicu bagi yang lain untuk ikut serta dalam berwakaf guna menciptakan
kehidupan yang baik setelah memanfaatkan pengelolaan wakaf secara optimal. Pada
akhirnya, segala bentuk penyelenggaraan wakaf harus tersu dilestarikan dan
didorong sebagai bagian dari amal shalih yang juga berdampak dalam kehidupan
sosial masyarakat umat Muslim. Kemudian, bagi
yang hendak berwakaf namun belum mampu berwakaf atau belum memaksimalkan harta
yang bisa diwakafkan, hendaknya memohon pada Allah untuk diberi kemudahan dalam
berwakaf dan menjaga harta wakaf sehingga pengelolaan harta wakaf dapatt
dilaksanakan semaksimal mungkin.
C.
Kesimpulan
Menyadari bahwa harta yang dimiliki di
dunia ini hanya titipan dan akan dimintai pertanggung jawaban, tentunya sebagai
umat yang mempelajari Al-Qur’an, akan berusaha semaksimal dan seoptimal mungkin
untuk mengamalkan apa yang telah tertera di dalam Al-Qur’an berdasarkan
penjelasan mufassir terkait ayat yang berkaitan dengan wakaf. Sebab, dalam
persoalan wakaf, baik untuk berwakaf maupun mengelola harta wakaf, diperlukan
keseriusan yang optimis; bahwa wakaf mampu menjadi solusi permasalahan bagi
kehidupan umat Muslim dalam berbagai aspeknya yang mampu dijangkau. Dengan
begitu, cita-cita dari disyariatkannya wakaf dapat terwujud dan memberi manfaat
seluas mungkin bagi semua yang didasari niat yang tulus serta hanya ingin
meraih ridha Allah Swt semata.
Wa Allah a’lam.
[1] Tim Penyusun, Paradigma
Baru Wakaf di Indonesia (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia,
2013), h. 1
[2] ‘Allamah Sayid
Muhammad Husain Thabathabai’i, Tafsir Al-Mizan Jilid 4 (Jakarta:
Lentera, 2011), h. 312
[3] Mushtafâ Ahmad
al-Zarqâ, Ahkâm al-Awqâf, (t.tp: Dâr Ammâr, t.th), h. 9
[4] Muhammad
Chirzin, 365 Renungan Harian Al-Qur’an (Bandung: Mizan Media Utama,
2018), h. 31
[5] Sayyid Quthb, Tafsir
fi Zhilalil Qur’an Jilid 1 (Jakarta: Gema Insani, 2000), h. 360
[6] Haidar Bagir, Islam
Tuhan Islam Manusia (Bandung: Mizan, 2017), h. 261
[7] Ahmad Musthafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Jilid 3 (Semarang: Karya Toha Putra,
1993), h. 52
[8] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume I (Ciputat: Lentera Hati, 2012), h. 690
[9] Abu Ihsan
al-Atsari: Penerjemah, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 (Bogor: Pustaka
Ibnu Katsir, 2006), h. 35
[10] Al-‘Allamah
Asy-Syaikh Muhammad Nawani Al-Jawi (Banten), Tafsir Al-Munir Marah Labid
Jilid 1 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011), h. 272
[11] Ahmad Musthafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Jilid 3 (Semarang: Karya Toha Putra,
1993), h. 57
[12] Wahbah
az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 2013),
h. 73
[13] Hamka, Tafsir
Al-Azhar Juzu’ 4 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), h. 5
[14] Tim Penyusun, Tafsir
Al-Qur’an Temamik: Pembangunan Ekonomi Umat (Jakarta: kementerian Agama
Republik Indonesia, 2009), h. 66
[15] Muhammad Ahmad
Asnawi (Penyusun dan Pentahqiq), Tafsir Ibnu Mas’ud (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 345
[16] Al-‘Allamah
Asy-Syaikh Muhammad Nawani Al-Jawi (Banten), Tafsir Al-Munir Marah Labid
Jilid 1 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011), h. 402
[17] Muhammad Asad,
The Message of The Quran Jilid 1 (Bandung: Mizan, 2017), h. 101
[18] Syaikh Ahmad
Musthafa al-Farran: Tahqiq, Tafsir Imam Syafi’i Jilid 1 (Jakarta:
Almahira, 2008), h. 556
[19] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume II (Ciputat: Lentera Hati, 2012), h. 181
[22] Abu Ihsan
al-Atsari: Penerjemah, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 (Bogor: Pustaka
Ibnu Katsir, 2006), h. 227
[23] Wahbah az-Zuhaili,
Tafsir Al-Munir Jilid 7 (Jakarta: Gema Insani Press, 2013), h. 471
[24] Hamka, Tafsir
Al-Azhar Juzu’ 13-14 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), h. 292
[25] Muhammad Asad,
The Message of The Quran Jilid 2 (Bandung: Mizan, 2017), h. 511
[26] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung:
Mizan, 2005), h. 199
[28] Haidar Bagir, Percikan
Cinta dan kebahagiaan (Bandung, Mizan, Tanpa Tahun), h. 9
[29] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 6 (Ciputat: Lentera Hati, 2012), h. 718
[30]
M. Quraish
Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 287