Sabtu, 28 September 2019

TAFSIR TEMATIK SEPUTAR AYAT WAKAF

TAFSIR TEMATIK SEPUTAR AYAT WAKAF
Oleh: Ahmad Fauzan, S.H.I., M.H.

A.  Latar Belakang
       Sebagaimana kita ketahui bersama, Islam, baik dalam ajaran maupun peraturannya, merujuk pada dua sumber utama, yakni Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an, memiliki empat (4) hak yang harus dipenuhi bagi siapa saja yang mengimaninya, yakni hak untuk: dibaca, dihapal, dipelajari, dan diamalkan. Hak tersebut didasari bahwa Al-Qur’an pasti memiliki segala penjelasan yang dibuthkan oleh manusia berdasar Firman-Nya dalam Surah An-Nahl (16):89 sebagai berikut:
....وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ 
“....Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”

       Segala hal yang pasti ada pembahasannya dalam Al-Qur’an, baik secara umum maupun terperinci. Hal dalam Al-Qur’an tersebut bisa berupa perintah, larangan, kisah, dan hal lain yang misalnya menyangkut ibadah. Salah satunya adalah wakaf. Berdasar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, dikatakan bahwa, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Di tengah problem sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan ekonomi akhir-akhir ini, keberadaan lembaga wakaf menjadi sangat strategis. Disamping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial).[1]
       Dalil terkait wakaf dalam Al-Qur’an, bila dilihat bisa merujuk pada ayat-ayat tertentu. Hal ini disebabkan tidak ditemukan ayat yang menjelasakan wakaf secara redaksional. Untuk itu tulisan ini akan mengkaji ayat-ayat, yang paling tidak, sering dirujuk sebagai dalil wakaf dalam pandangan para mufassir. Tulisan ini akan merujuk pada pemikiran beberapa mufassir yang tertuang dalam kitab tafsirnya. Kitab tafsir tersebut antara lain: Tafsir Al-Azhar karya HAMKA, Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, dan Tafsir Tematik Kementerian Agama: Pembangunan Ekonomi Umat. Pemilihan kitab tafsir di atas, dikarenakan semua kitab tersebut ditulis di Indonesia dan berbahasa Indonesia. Selain ketiga kitab tafsir di atas, tulisan ini juga akan merujuk pada beberapa kitab tafsir lainnya, seperti Tafsir Al-Munir karya Wahbah Zuhaily, Tafsir Al-Munir Marah Labid karya Syaikh Nawawi Banten, Tafsir Message of The Qur’an karya Muhammad Asad, Tafsir Al-Maraghi, dan kitab tafsir lainnya. Dengan demikian, tulisan ini diharapkan sebagai upaya memenuhi hak Al-Qur’an untuk memperlajarinya, khususnya menggali makna wakaf yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan pendekatan berbagai kitab tafsir yang pada akhirnya dapat menjadi rujukan dalam mengamalkannya.

B.  Pembahasan
1.    Q.S. Al-Baqarah (2): 261-262
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنۢبُلَةٖ مِّاْئَةُ حَبَّةٖۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ  ٢٦١  ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ثُمَّ لَا يُتۡبِعُونَ مَآ أَنفَقُواْ مَنّٗا وَلَآ أَذٗى لَّهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ  ٢٦٢
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebutnyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”

       Salah satu dari dua pilar Islam adalah hak-hak manusia; dan membelanjakan harta untuk kesejahteraan manusia merupakan salah satu hal yang mendapatkan perhatian sangat besar dari Islam. Tujuan Islam adalah mengangkat level kualitas standar hidup.[2] Sehingga, akan ditemui tidak sedikit ayat yang menganjurkan orang-orang yang beriman secara khusus untuk memanfaatkan harta dengan baik sesuai apa yang telah diarahkan dalam Al-Qur’an. Pada dasarnya harta diciptakan untuk diambil manfaatnya. Pemanfaatan harta bisa dilakukan dengan dua cara, dengan cara menghabiskan benda tersebut atau menggunakan harta secara terus menerus dengan tetap menjaga kelanggengan benda tersebut yakni wakaf.[3]
       Muhammad Chirzin mengatakan bahwa, tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya menghujam ke tanah dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang cercabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tegak sedikitpun.[4] Pohon, ialah makhluk Allah yang memiliki keistimewaan dan juga memiliki peran sangat krusial bagi kehidupan. Pepohonanlah yang memproduksi oksigen bagi kehidupan seluruh makhluk. Tak bisa terbayang bagaimana bumi tanpa pepohonan hijau yang memanjakan mata, menyediakan oksigen serta buah-buahan dan manfaat lain yang tentunya memang kita rasakan.
       Infak fi sabilillah itu termasuk rumpun jihad yang diwajibkan Allah atas umat Islam. Dustur ‘undang-undang, peraturan, hukum’ ini tidak dimulai dengan mewajibkan atau menugaskan. Tetapi, hanya dimulai dengan anjuran dan memberikan rangsangan. Ternyata metode ini sangat efektif membangkitkan persaan dan menimbulkan kesan-kesan yang hidup di dalam jiwa manusia.[5] Sebab, manusia, betapapun berjalan di muka bumi yang dibatasi oleh ruang dan waktu, memang sesungguhnya hidap dalam makna (spiritual).[6] Sedangkan Ahmad Musthafa Al-Maraghi mengatakan bahwa sabilillah adalah sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada keridaan Allah.[7]
       Ayat ini berpesan kepada yang berpunya agar tidak merasa berat membantu karena apa yang dinafkahkan akan tumbuh berkembang dengan berlipat ganda. Perumpamaan keadaan yang sangat mengagumkan dari orang-orang yang menafkahkan harta mereka dengan tulus di jalan Allah adalah serupa dengan keadaan yang sangat mengagumkan dari seorang petani yang menabur butir benih. Sebutir benih yang ditanamnya menumbuhkan tujuh butir, dan pada setiap butir terdapat seratus biji.[8] Perumpamaan ini lebih menyentuh hati daripada penyebutan bilangan 700 kali lipat, karena perumpamaan ini menunjukkan bahwa pahala amal shalih itu dikembangkan oleh Allah Swt. untuk para pelakunya, sebagaimana tanaman tumbuh subur bagi siapa yang menanamnya di tanah yang subur.[9]
       Pada ayat 262, yang dimaksud dengan al-mannu ialah menyebut-menyebut pemberian dan membesar-besarkannya kepada pihak yang diberi. Adapun yang dimaksud al-ażā ialah menyakiti hati orang yang diberi melalui kata-kata, roman muka yang tidak enak, atau menyumpahinya.[10] Bahwa orang yang menginfakkan harta di jalan Allah karena menghendaki ridha-Nya, dan tidak mengiringi kebaikan ini dengan perbuatan-perbuatan jelak lainnya, seperti menyebut-nyebut kebaikan terhadap orang yang disantuninya, maka mereka ini akan mendapat pahala di sisi Allah yang tak terhitung banyaknya.[11]
       Wahbah az-Zuhaili mengetakan bahwa orang yang bersedekah karena riya’ dan sum’ah pada hakikatnya adalah orang yang tidak beriman kepada Allah Swt. dengan keimanan yang benar. Serupa dengan orang bersedekah dengan riya’ adalah orang yang bersedekah dengan mengikuti sedekahnya tersebut dengan sikap mengungkit-ngungkit pemberiannya dan menyakiti perasaan si penerima sedekah.[12] Perintah untuk tidak mengungkit dan menyakiti perasaan penerima harta yang dinafkahkan ditujukan tidak hanya kepada orang yang menafkahkan harta itu, melainkan juga diarahkan kepada keluarganya dan orang-orang yang mengetahuinya.
       Wakaf, dalam ayat ini juga bisa diumpamakan sebagai pohon yang sangat memberi manfaat. Apakah itu wakaf benda bergerak atau tidak bergerak. Apakah wakaf itu dinilai sebagai wakaf konsumtif atau wakaf produktif. Wakaf akan memberi manfaat yang tiada putusnya apabila dilakukan dengan baik dan tulus ikhlas, tidak hanya oleh wakif, melainkan juga oleh keluarga atau ahli warisnya. Jangan sampai dikemudian hari, sebagaimana ada kasus yang pernah kita dengar, bahwa ada ahli waris yang menarik harta yang telah diwakafkan oleh orang tuanya. Tentunya ini menjadi suatu permasalahan yang sedari awal bisa dicegah dengan sosialisasi perwakafan yang optimal. Selain itu, hendaknya yang berwakaf atau yang mengelola bahkan penerima wakaf hendaknya tidak saling membanggakan diri, atau bahkan lebih buruk lagi dengan mengolok-olok atau menjelakkan institusi wakaf.
       Janganlah muncul kekhawatiran bagi wakif, nazhir, maupun penerima manfaat wakaf tidak mendapat balasan dari Allah atas apa yang telah melakan lakukan dalam perwakafan. Wakif, tentu saja akan mendapat balasan apa yang telah ia wakafkan. Nazhir, juga memperoleh hal serupa karena ia telah dengan sangat profesional dan penuh tanggung jawab pengelola harta wakaf demi kepentingan bersama. Sedangkan penerima wakaf, tentu akan memanfaatkan harta wakaf tersebut, dan biasanya juga pihak penerima wakaf akan mendoakan wakif yang pada dasarnya doa itu juga akan kembali padanya. Itulah institusi wakaf yang diharapkan terus mendapat perhatian dan peningkatan pengelolaan sehingga kehidupan umat Muslim dapat menjadi lebih baik dalam segala aspeknya.

2.    Q.S. Ali Imran (3): 92
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ 
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

       Ayat ini mengajarkan kita untuk termotivasi dalam meraih ridha Allah dengan menafkahkan harta yang dititipkan di dunia ini, salah satunya ialah dengan berwakaf. Hamka, mengatakan bahwa, mendermakan barang yang paling dicintai ialah bagian dari keimanan. Dan seseorang belum akan mencapai kebaikan (birr) atau hidup yang baik atau jiwa yang baik sebelum melakukan hal tersebut.[13] Lebih lanjut, Hamka mengatakan bahwa barang yang hendak didermakan itu atau dinafkahkan mestilah harta yang apabila kita memperolehnya tidak memicingkan mata. Dengan kata lain, kita menginginkan barang yang bagus ketika mendapatkanya dari orang lain.
       Misalnya, dalam pemahaman masyarakat pada masa lalu, wakaf hanya berkutat pada benda tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Siapalah yang tidak tergiur dengan kepemilikan tanah? Apabila bila lokasi tanah tersebut strategis, tentu akan menambah nilai jualnya dan makin dicintai dan digaja oleh pemiliknya. Namun, ayat ini membimbing kita untuk memanfaatkan bagi kebaikan bersama, dengan mewakafkan tanah tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Wakaf tanah ini misalnya, mungkin, dalam perhitungan jumlah harta di dunia ia akan terlihat berkurang. Namun, di sisi Allah, mungkin hal berbeda yang akan terjadi. Ia akan memperoleh pahala sebagai imbalan menafkahkan harta yang paling ia cintai demi kemaslahatan bersama. Terlebih apa yang ia nafkahkan atau wakafkan dapat memberi manfaat dan berkembang menjadi hal yang produktif sehingga dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan dan meningkat, baik jumlah maupun kualitasnya.
       Dalam Tafsir Tematik Kementerian Agama: Pembangunan Ekonomi Umat, ditekankan pada kata birr yang maknanya ialah kebajikan.[14] Ibnu Mas’ud menambahkan bahwa kejujuran [15]akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa ke surga. Syaikh Nawawi Banten mengatakan bahwa (Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan) ialah pahala dan surga atau sekali-kali tidak sampai pada tingkatan tawakal dan takwa.[16] Sedangkan Muhammad Asad mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada orang yang beriman, yang akan membuat mereka sadar akan kebutuhan-kebutuhan material sesama manusia.[17] Sebab, menurut Imam Syafi’i, Allah akan memuji orang yang memberi atau menafkahkan hartanya dengan baik.[18]
       M. Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat ini mengemukakan kapan dan bagaimana nafkah seseorang dapat bermanfaat. Yakni, bahwa yang dinafkahkan hendaknya harta yang disukai karena kamu sekali-kali tidak meraih kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan dengan cara yang baik dan tujuan serta motiasi yang benar sebagian dari apa, yakni harta benda yang kamu sukai. Jangan khawatir merugi atau menyesal dengan pemberianmu yang tulus. Kata (ٱلۡبِرَّ) al-birr pada mulanya berarti keluasan dalam kebajikan. Dari akar kata yang sama, daratan dinamai al-barr karena luasnya. Kebajikan mencakup segala bidang termasuk keyakinan yang benar, niat yang tulus, kegiatan badaniah serta tentu saja menginfakkan harta di jalan Allah. Al-birr adalah sesuatu yang tenang hati dan tenteram jiwa menghadapinya.[19]
        Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa, ayat ini menginformasikan ujian dalam mengeluarkan sedekah, adakah yang kita berikan itu sesuatu yang sangat berharga buat kita, sesuatu yang dicintai. Perintah Allah agar kita tidak hanya mementingkan diri sendiri, dan tidak ada perbuatan demikian yang tidak diketahui Allah.[20] Wakaf, boleh dibilang ia bentuk sedekah yang memiliki dampak yang tidak biasa. Sebab, wakaf ialah bentuk sedekah yang tujuannya menahan benda (yang boleh jadi dicintai, atau diinginkan oleh setiap orang untuk dimiliki) yang kemudian diberikan manfaatnya bagi orang banyak setelah beralihnya status kepemilikan tersebut. Mewakafkan harta adalah salah satu bentuk ujian, sebab, Al-Qur’an sendiri mengatakan bahwa akan terasa indah dalam pandangan manuis mencintai apa yang ia inginkan, termasuk harta (Q.S. Ali Imran [3]:14)
       ‘Aidh al-Qarni mengatakan seseorang tidak akan mencapai amal ibadah yang paling utama dan kedudukan yang paling agung sebelum kalian menyedekahkan harta yang paling utama, paling disukai, paling mahal, paling bagus, sebelum kalian lebih mengutamakan Allah Swt. daripada diri kalian sendiri, dan sebelum kalian menyedekahkan sesuatu yang kalian pilih untuk diri kalian karena Allah Swt.[21] Tentulah ketika mengaharap ridha Allah dalam menginfakkan harta tersebut, jangan sampai terbersit keinginan agar dilihat, dipuji oleh sesama. Hendaklah kegiatan tersebut didasari oleh niat murni sebagai ibadah dan bentuk tanggung jawab sesama makhluk Allah yang harus saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa (Q.S. Al-Maidah [5]: 2).
       Sahabat Nabi Saw., yang setelah mengetahui ayat ini langsung menafkahkan harta yang paling ia cintai, dalam hal ini mewakafkan kebun ialah Abu Thalah dan Umar. Abu Thalhah menginfakkan kebun Bairaha’, sedangkan Umar Umar mewakafkan kebun dari hasil perang Khaibar setelah mendapat arahan dari Rasulullah Saw.[22]

3.    Q.S. An-Nahl (16):97
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ  ٩٧
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

       Ayat ini merupakan dorongan/motivasi bagi laki-laki dan perempuan untuk bersemangat menunaikan amal-amal ketaatan dan kewajiban-kewajiban agama.[23] Dan di dalam ayat ini juga dijelasakan lagi bahwa dalam hal amal shalih dan iman itu samalah kedudukan di antara laki-laki dan perempuan. Masing-masing sama-sama sanggup menumbuhkan iman dalam hatinya dan masing-masing pun sanggup berbuat baik.[24]        Muhammad Asad mengatakan bahwa kehidupan yang baik adalah kebahagiaan dalam kesadarannya akan kemahahadiran Allah atau pada kebahagiaan yang menantinya di akhirat, atau pada keduanya.[25]
       Menurut Haidar Bagir dalam bukunya mengutip pandangan Aristoteles, bahwa pada puncaknya tujuan dari tindakan-tindakan etis adalah ketenangan dan kebahagiaan.[26] Kita hendaknya hidup secara bermoral karena itulah jalan menuju kebahagiaan. Dalam hubungan ini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, kebahagiaan sejati sebagai tujuan terakhir manusia tidak perlu dipertentangkan dengan tujuan akhir yang disebutkan oleh agama. Kedua, kalau kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia, maka sekaligus menjadi jelas bahwa beberapa hal yang umumnya menjadi tujuan hidup tidak memadai. Ketiga, perlu diperhatikan bahwa kebahagiaan tidak bisa langsung diusahakan.[27] Karena esensi kebahagiaan kita sesungguhnya identik dengan kenyataan bahwa sesungguhnya manusia berasal dari Tuhan.[28]
       Kata (صالح) shȃlih/saleh dipahami dalam arti baik, serasi, atau bermanfaat dan tidak rusak. Seseorang dinilai beramal saleh apabila ia dapat memelihara nilai-nilai sesuatu sehingga kondisinya tetap berfungsi dengan baik dan bermanfaat. Dicakup juga oleh kata beramal saleh upaya seseorang menemukan sesuatu yang hilang atau berkurang nilainya, tidak atau kurang berfungsi dan bermanfaat, lalu melakukan aktivitas (perbaikan) sehingga yang kurang atau hilang itu dapat menyatu kembali dengan sesuatu itu. Sedangkan Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa amal saleh adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, Al-Qur’an dan atau sunnah Nabi Muhammad Saw. [29] Amal saleh tanpa iman akan menjadi sia-sia belaka. Di sisi lain, keterkaitan amal saleh dan iman menjadikan pelaku amal saleh melakukan kegiatannya tanpa mengandalkan imbalan segera serta membekalinya dengan semangat berkorban tan upaya beramal sebaik mungkin.[30]
       Pada ayat ini, penulis melihat bahwa tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam berbuat kebaikan, termasuk berwakaf. Namun, yang perlu menjadi sorotan ialah dalam praktiknya, boleh jadi, orang yang mewakafkan harta bendanya masih didominasi oleh pihah laki-laki. Atau, dalam hal lain ialah yang berwakaf biasanya seseorang yang sudah dianggap mencapai usia dewasa atau memiliki kemapanan ekonomi. Padahal, menurut ketua Badan Wakaf Indonesia Mohammad  Nuh, seharusnya, anak muda atau kaum millenial harus mengambil peran aktif dalam kehidupan, termasuk dalam hal wakaf, yang dalam hal ia contohnya dengan wakaf tunai.[31]
       Penanaman nilai-nilai kebaikan, khususnya dalam hal ini ialah wakaf (misalnya wakaf uang) dapat dipupuk sejak dini. Hal tersebut bisa dimulai dari diri sendiri, yang kemudian diharapkan menjadi pemicu bagi yang lain untuk ikut serta dalam berwakaf guna menciptakan kehidupan yang baik setelah memanfaatkan pengelolaan wakaf secara optimal. Pada akhirnya, segala bentuk penyelenggaraan wakaf harus tersu dilestarikan dan didorong sebagai bagian dari amal shalih yang juga berdampak dalam kehidupan sosial masyarakat umat Muslim. Kemudian, bagi yang hendak berwakaf namun belum mampu berwakaf atau belum memaksimalkan harta yang bisa diwakafkan, hendaknya memohon pada Allah untuk diberi kemudahan dalam berwakaf dan menjaga harta wakaf sehingga pengelolaan harta wakaf dapatt dilaksanakan semaksimal mungkin.

C.  Kesimpulan
       Menyadari bahwa harta yang dimiliki di dunia ini hanya titipan dan akan dimintai pertanggung jawaban, tentunya sebagai umat yang mempelajari Al-Qur’an, akan berusaha semaksimal dan seoptimal mungkin untuk mengamalkan apa yang telah tertera di dalam Al-Qur’an berdasarkan penjelasan mufassir terkait ayat yang berkaitan dengan wakaf. Sebab, dalam persoalan wakaf, baik untuk berwakaf maupun mengelola harta wakaf, diperlukan keseriusan yang optimis; bahwa wakaf mampu menjadi solusi permasalahan bagi kehidupan umat Muslim dalam berbagai aspeknya yang mampu dijangkau. Dengan begitu, cita-cita dari disyariatkannya wakaf dapat terwujud dan memberi manfaat seluas mungkin bagi semua yang didasari niat yang tulus serta hanya ingin meraih ridha Allah Swt semata.

Wa Allah a’lam.



[1] Tim Penyusun, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2013), h. 1
[2] ‘Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathabai’i, Tafsir Al-Mizan Jilid 4 (Jakarta: Lentera, 2011), h. 312
[3] Mushtafâ Ahmad al-Zarqâ, Ahkâm al-Awqâf, (t.tp: Dâr Ammâr, t.th), h. 9
[4] Muhammad Chirzin, 365 Renungan Harian Al-Qur’an (Bandung: Mizan Media Utama, 2018), h. 31
[5] Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an Jilid 1 (Jakarta: Gema Insani, 2000), h. 360
[6] Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia (Bandung: Mizan, 2017), h. 261
[7] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Jilid 3 (Semarang: Karya Toha Putra, 1993), h. 52
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume I (Ciputat: Lentera Hati, 2012), h. 690
[9] Abu Ihsan al-Atsari: Penerjemah, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006), h. 35
[10] Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawani Al-Jawi (Banten), Tafsir Al-Munir Marah Labid Jilid 1 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011), h. 272
[11] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Jilid 3 (Semarang: Karya Toha Putra, 1993), h. 57
[12] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 2013), h. 73
[13] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ 4 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), h. 5
[14] Tim Penyusun, Tafsir Al-Qur’an Temamik: Pembangunan Ekonomi Umat (Jakarta: kementerian Agama Republik Indonesia, 2009), h. 66
[15] Muhammad Ahmad Asnawi (Penyusun dan Pentahqiq), Tafsir Ibnu Mas’ud (Jakarta:  Pustaka Azzam, 2009), h. 345
[16] Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawani Al-Jawi (Banten), Tafsir Al-Munir Marah Labid Jilid 1 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011), h. 402
[17] Muhammad Asad, The Message of The Quran Jilid 1 (Bandung: Mizan, 2017), h. 101
[18] Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran: Tahqiq, Tafsir Imam Syafi’i Jilid 1 (Jakarta: Almahira, 2008), h. 556
[19] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume II (Ciputat: Lentera Hati, 2012), h. 181
[20] Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali Jilid I (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2009), h. 152
[21]Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar Jilid I (Jakarta: Qisthi Press, 2007), h. 285
[22] Abu Ihsan al-Atsari: Penerjemah, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006), h. 227
[23] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 7 (Jakarta: Gema Insani Press, 2013), h. 471
[24] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ 13-14 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), h. 292
[25] Muhammad Asad, The Message of The Quran Jilid 2 (Bandung: Mizan, 2017), h. 511
[26] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), h. 199
[28] Haidar Bagir, Percikan Cinta dan kebahagiaan (Bandung, Mizan, Tanpa Tahun), h. 9
[29] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 6 (Ciputat: Lentera Hati, 2012), h. 718
[30] M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 287

[31] Amri Rabbani, Editor: Khayun Ahmad Noe,  Prof. Dr. Nuh: Jadilah Generasi Muda yang Berwakaf. On.Line tersedia di https://www.bwi.go.id/3682/2019/09/berita/berita-wakaf/prof-dr-nuh-jadilah-generasi-muda-yang-berwakaf/ diakses pada 23 September 2019