Surat
Al-Insyirah
“Bukankah kami Telah melapangkan untukmu
dadamu?. Dan kami Telah menghilangkan daripadamu bebanmu. Yang memberatkan
punggungmu. Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena Sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan. Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan Hanya kepada Tuhanmulah
hendaknya kamu berharap.”
__________
Surah ini dinamakan dengan al-Insyirâh
karena dimulai dengan kabar mengenai lapang dada Nabi saw., atau bersinarnya
karena petunjuk iman, dan hikmah. Tema surah ini berbicara tentang kepribadian
Nabi saw. dan berbagai kenikmatan yang dikaruniakan kepada beliau yang patut
untuk disyukuri.[1] Di dalam
surah ini, terdapat bayang-bayang kasih sayang yang teduh, ada ruh bisikan sang
Kekasih, ditampakkan lambang-lambang perhatian, dan dipaparkan
peristiwa-peristiwa pemeliharaan. Dalam surah ini, terdapat kabar gembira akan
diberikannya kemudahan dan dilepaskannya dari kesulitan dan kesushan. Juga
terdapat pengarahan yang menunjukkan rahasia kemudahan itu dan tali hubungan
yang kuat.[2]
1.
“Bukankah
kami Telah melapangkan untukmu dadamu?” sesungguhnya
Kami telah melapangkan dadamu, hingga kamu bisa keluar dari kebingungan yang
selama ini menghantui pikiranmu. Dengan begitu Allah hendak melenyapkan segala
kebingungan supaya kamu (Nabi saw.) tidak khawatir dan bsesusah hati serta
percaya pada bantuan dan pertolongan dari Allah swt.[3]
Arti kata yuô³nS adalah membuka dengan menghilangkan yang dapat menghalangi
pancaindera. Allah swt. telah membuka dada Nabi-Nya untuk menerima petunjuk dan
ma’rifat dengan menghilangkan apa yang dapat menghalangi untuk mengetahui
kebenaran.[4]
Dada yang tadinya sempit
karena susah atau duka cita, atau sempit karena belum banyak diketahui jalan
yang akan ditempuh, sehingga setelah Allah melapangkan dada itu, timbullah
kebijaksanaan, rasa kearifan hukum, pertimbangan yang adil. Bukankah dengan
petunjuk Kami, dadamu telah lapang menghadap segala kesulitan?[5]
Kelapangan ini adalah
kelapangan yang bersifat maknawi (abstrak) dan bukan kelapangan konkret. Lapang
dada adalah lapang untuk menerima hukum Allah dengan kedua macamnya: hukum
Allah yang syar’i yaitu agama, dan hukum Allah yang qadari yaitu berbagai macam
musibah yang terjadi di kalangan manusia. Jadi, lapang dada untuk menerima
hukum syar’i, artinya ridha dengannya dan menaatinya. Sedangkan lapang dada
atas hukum qadari ialah menerima hukum kauni, yaitu ridha atas qadha dan qadar
Allah serta merasa tenang kepadanya.[6]
Dalam Tafsir Jalalain
disebutkan bahwa ayat pertama surah ini mengandung makna menetapkan, yakni
Allah telah menetapkan kelapangan dada nabi Muhammad saw dengan kenabian dan
lain-lainnya.
Sedangkan
dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Allah telah menjadikan dada Nabi Muhammad
saw. bercahaya dan luas lagi lapang, sebagaimana disebut dalam Q.S. Al-An’am(6):125.
Dan sebagaimana Allah telah melapangkan dada Rasulullah saw., demikian pula Allah
telah menjadikan syariatnya luas, lapang, toleran, lagi mudah, tiada kesulitan,
dan tiada beban serta kesempitan padanya.
Ayat pertama
ini berbicara tentang kelapangan dada dalam pengertian immaterial, yang dapat menghasilkan
kemampuan menerima dan menemukan kebenaran, hikmah dan kebijaksanaan, serta kesanggupan
menampung bahkan memaafkan kesalahan dan gangguan-gangguan orang lain.[7]
Kami telah melapangkan dadamu dengan menerima kenabian dan mengemban tanggung jawabnya
serta menjaga wahyu. Maksud dari lapang dada adalah menjadikannya diterangi cahaya,
luas dan senang.[8]
[1]
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 15 (Jakarta: Gema Insani,
2014), h. 576
[2]
Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 12(Jakarta: Gema Insani,
2000), h. 295
[3]
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Jilid 30 (Semarang: Toha
Putra, 1993), h. 332
[4]
Ibnu Jauzi, Tafsir Ibnu Jauzi Juz ‘Amma (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014),
h. 287
[5]
HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 240
[6]
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Tafsir Juz ‘Amma (Bekasi: Darul Falah,
2016), h. 355
[7] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati,
2002), h. 354
[8] Wahbah
az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 15 (Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 579