Minggu, 01 Oktober 2017

Surat Al-Insyirah



Surat Al-Insyirah




Image result for surat al insyirah







“Bukankah kami Telah melapangkan untukmu dadamu?. Dan kami Telah menghilangkan daripadamu bebanmu. Yang memberatkan punggungmu. Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”

__________



       Surah ini dinamakan dengan al-Insyirâh karena dimulai dengan kabar mengenai lapang dada Nabi saw., atau bersinarnya karena petunjuk iman, dan hikmah. Tema surah ini berbicara tentang kepribadian Nabi saw. dan berbagai kenikmatan yang dikaruniakan kepada beliau yang patut untuk disyukuri.[1] Di dalam surah ini, terdapat bayang-bayang kasih sayang yang teduh, ada ruh bisikan sang Kekasih, ditampakkan lambang-lambang perhatian, dan dipaparkan peristiwa-peristiwa pemeliharaan. Dalam surah ini, terdapat kabar gembira akan diberikannya kemudahan dan dilepaskannya dari kesulitan dan kesushan. Juga terdapat pengarahan yang menunjukkan rahasia kemudahan itu dan tali hubungan yang kuat.[2]



1.     “Bukankah kami Telah melapangkan untukmu dadamu?” sesungguhnya Kami telah melapangkan dadamu, hingga kamu bisa keluar dari kebingungan yang selama ini menghantui pikiranmu. Dengan begitu Allah hendak melenyapkan segala kebingungan supaya kamu (Nabi saw.) tidak khawatir dan bsesusah hati serta percaya pada bantuan dan pertolongan dari Allah swt.[3]

       Arti kata yuŽô³nS adalah membuka dengan menghilangkan yang dapat menghalangi pancaindera. Allah swt. telah membuka dada Nabi-Nya untuk menerima petunjuk dan ma’rifat dengan menghilangkan apa yang dapat menghalangi untuk mengetahui kebenaran.[4]

       Dada yang tadinya sempit karena susah atau duka cita, atau sempit karena belum banyak diketahui jalan yang akan ditempuh, sehingga setelah Allah melapangkan dada itu, timbullah kebijaksanaan, rasa kearifan hukum, pertimbangan yang adil. Bukankah dengan petunjuk Kami, dadamu telah lapang menghadap segala kesulitan?[5]

       Kelapangan ini adalah kelapangan yang bersifat maknawi (abstrak) dan bukan kelapangan konkret. Lapang dada adalah lapang untuk menerima hukum Allah dengan kedua macamnya: hukum Allah yang syar’i yaitu agama, dan hukum Allah yang qadari yaitu berbagai macam musibah yang terjadi di kalangan manusia. Jadi, lapang dada untuk menerima hukum syar’i, artinya ridha dengannya dan menaatinya. Sedangkan lapang dada atas hukum qadari ialah menerima hukum kauni, yaitu ridha atas qadha dan qadar Allah serta merasa tenang kepadanya.[6]

       Dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa ayat pertama surah ini mengandung makna menetapkan, yakni Allah telah menetapkan kelapangan dada nabi Muhammad saw dengan kenabian dan lain-lainnya.

       Sedangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Allah telah menjadikan dada Nabi Muhammad saw. bercahaya dan luas lagi lapang, sebagaimana disebut dalam Q.S. Al-An’am(6):125. Dan sebagaimana Allah telah melapangkan dada Rasulullah saw., demikian pula Allah telah menjadikan syariatnya luas, lapang, toleran, lagi mudah, tiada kesulitan, dan tiada beban serta kesempitan padanya.

       Ayat pertama ini berbicara tentang kelapangan dada dalam pengertian immaterial, yang dapat menghasilkan kemampuan menerima dan menemukan kebenaran, hikmah dan kebijaksanaan, serta kesanggupan menampung bahkan memaafkan kesalahan dan gangguan-gangguan orang lain.[7] Kami telah melapangkan dadamu dengan menerima kenabian dan mengemban tanggung jawabnya serta menjaga wahyu. Maksud dari lapang dada adalah menjadikannya diterangi cahaya, luas dan senang.[8]



[1] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 15 (Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 576
[2] Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 12(Jakarta: Gema Insani, 2000), h. 295
[3] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Jilid 30 (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 332
[4] Ibnu Jauzi, Tafsir Ibnu Jauzi Juz ‘Amma (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), h. 287
[5] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 240
[6] Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Tafsir Juz ‘Amma (Bekasi: Darul Falah, 2016), h. 355
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 354
[8] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 15 (Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 579