Jumat, 17 Februari 2017

Surat Al- 'Ashr


Tafsir al-Hikmah
Surat Al- 'Ashr

 
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

_______

       Allah bersumpah dengan masa, karena ia mengandung keajaiban Kuasa Allah yang menunjukkan keagunganNya, bahwa menusia benar-benar berada dalam kebinasaaan dan kerugian.[1] Allah telah bersumpah dengan masa, yakni waku malam dan siang, yang merupakan ladang bagi hamba untuk berbuat dan beramal.[2] Masa seluruhnya ini, waktu-waktu yang kita lalui dalam hidup kita, zaman demi zaman, masa demi masa.[3] Setiap manusia berada dalam kerugian. Kerugian adalah lawan dari keberuntungan. Kerugian memiliki beberapa tingkatan. Ada bentuk kerugian mutlak, seperti kondisi seseorang merugi dunia dan akhirat. Ia kehilangan kenikmatan dunia dan akan mendapatkan adzab di neraka jahannam. Ada pula bentuk kerugian pada satu sisi saja.[4]

       Surah ini mengajarkan kita untuk mencari hikmah dari segala sesuatu yang hadir disetiap waktu. Sebab, tiada yang memahami hakikat apa itu waktu atau masa sesungguhnya. Waktu merupakan kontinum satu dimensi yang mengalir satu arah ke masa depan.[5] Cara mencari hikmah melalui ayat ini adalah dengan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam menegakkan kebenaran kita dituntut untuk bersabar. Karena, bisa jadi, dalam menegakkan kebenaran tersebut kita mendapat rintangan. Begitu juga ketika kita bersabar. Karena sabar akan membawa pada kebenaran.

       Sabar itu terbagi ke dalam 3 pembagian. Pertama, sabar dalam menjalankan perintah dan ketaatan sehingga seseorang mampu menunaikannya. Kedua, sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan apa yang dilarang dan tidak melakukan perbuatan yang menyimpang sehingga seseorang tidak melaksanakannya. Ketiga, sabar terhadap takdir dan ketetapan-Nya sehingga ia tidak membencinya.
 
       Selain saling menasehati yang artinya ada dua pihak, mendengar nasihat dari diri sendiri juga adalah hal yang utama. Hal ini dikarenakan hanya kita sendiri yang mengetahui apa yang sedang kita hadapi dan rasakan. Kemudian hal penting lainnya adalah apa saja yang sudah kita perbuat disetiap waktu. Apakah itu bermula dari nasihat atau nafsu atau apakah itu bermanfaat atau justeru mendatangkan mudarat.

Wa Allah a’lam.


[1] Hikmat Basyir, Hazim Haidar, Mushthafa Muslim, Abdul Aziz Isma’il, Tafsir Muyassar Jilid 2 (Jakarta: Darul Haq, 2016), h. 952
[2] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: Al-Qowam, 2016), h.174
[3] HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 285
[4] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Op.Cit. h.174
[5] Husain Heriyanto, Paradigma Holistik (Jakarta: TERAJU, 2003), h. 42

Surat Al- Ma’un (103)



Tafsir al-Hikmah
Surat Al- Ma’un (103)

 
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna."


_______

        Surat ini mengajarkan kebaikan yang tercantum dalam ajaran agama Islam, yakni mengamalkan apa yang ada pada Al-Qur’an dan Hadis. Hal ini diperkuat dengan firman Allah pada Q.S. Al-Baqarah (2):256 : “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. Hal ini dikarenakan yang membedakan agama yang satu dengan agama yang lain hanyalah pada tataran ibadah dan ritual. Sedangkan pengajaran-pengajaran nilai kebaikan dan menjauhi keburukan adalah ajaran agama universal. Ayat ini didahului dengan pertanyaan "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?" adalah tandah bahwa hal ini sangatlah penting. sebenarya ini bukanlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban, melainkan perhatian yang mendalam.
       Pada ayat kedua menjelaskan bahwa orang yang mendustakan ajaran agama Islam adalah orang yang menghardik anak yatim. Ini berarti setiap muslim dianjurkan untuk memiliki kepedulian kepada anak-anak yang tidak memiliki orang tua, baik yatim maupun piatu. Mereka sangat membutuhkan bantuan dari berbagai pihak, seperti kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan serta kasih sayang. Ini dilakukan sampai anak yatim itu dewasa atau menikah sesuai dengan Q.S. An-Nisa (4):6 “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin” Karena ini adalah sesuatu yang baik berdasarkan pada Q.S. Al-Baqarah (2):220 ”Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik…”Dilarangnya menghardik anak yatim berlaku apabila anak tersebut tidak melakukan sesuatu keburukan. Apabila ia melakukan suatu kesalahan kita seharusnya memberikan bimbingan kepadanya agar tidak mengulangi kesalahan tersebut. Menghardik di sini juga dapat diartikan sebagai sikap tidak peduli kepada anak yatim, menolaknya dengan keras dan tidak mau memberikan hak yang harusnya ia terima.
       Ayat ketiga juga mengabarkan ciri-ciri orang yang mendustakan ajaran agama adalah ia yang tidak menganjurkan memberi makan kepada kaum miskin. Kita tentu mengetahui kebaikan bermula dari niat. Apabila niat untuk memberi makan kaum miskin belum hadir atau menghilang, kita hanya perlu diingatkan kembali akan niatan tersebut. Sebagaimana disebut dalam Q.S. Al-‘Asr (103):3 “…saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran”. Serta dalam Q.S Al-Maidah (3):2 “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan…” Singkatnya, ini adalah sikap tolong menolong. Dan pengingat terbaik akan niatan yang baik adalah diri sendiri. Mengajak di sini dimulai dengan mengajak diri sendiri, kemudian keluarga, tetangga, teman dan saudara untuk memberi makan orang miskin. Atau, bisa juga dengan memberikan kemampuan atau keahlian kepada orang miskin agar ia dapat bekerja sehingga terpenuhi kebutuhan pokoknya, yang salah satunya adalah makan. Dipilihnya saling berbagi makanan karena pangan adalah salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh seluruh makhluk. Seseorang yang telah makan, tentu ia akan memiliki energi untuk melakukan sesuatu, khususnya beribadah.
       Ayat keempat dan kelima menginformasikan bahwa orang yang solatnya lalai akan mengalami kecelakaan. Kecelakaan di sini dapat diartikan sebagai kondisi (buruk) yang tidak diharapkan. Seperti halnya dalam solat, pada dasarnya jiwa merasa malas untuk melakukannya dan suka melalaikannya. Apalagi jika disertai dengan kerasnya hati, hiasan akan keindahan dosa, dan rasa condong terhadap syahwat, bergaul dengan orang-orang yang lalai. Apabila perkara ini ada, maka hampir dipastikan seseorang akan sulit melaksanakannya. Kalaupun ia melakukannya maka ia pun melakukannya dengan merasa dibebani, hatinya hampa dari mengingat Allah ketika melakukannya dan ia berharap bisa segera selesai dari melakukannya.[1] Selanjutnya orang-orang yang lalai adalah orang-orang yang tidak menghargai serta melalaikan pelaksanaan dan waktu-waktu solat.[2] Ibnu Mas’ud mengatakan orang-orang yang lalai adalah orang-orang yang solat tidak menunaikannya tepat waktu.[3] Lalai mengisyaratkan bahwa solat mereka tidak sempurna, tidak khusyu’, tidak pula memperhatikan syarat dan rukun-rukunnya, atau tidak menghayati arti dan tujuan hakiki dari ibadah tersebut.[4] Orang-orang yang lalai solatnya adalah mereka yang solat nemun tetap melaksanakan kemungkaran, sebab dikatakan bahwa solat itu pencegah perbuatan keji dan kemungkaran. Sebab solat yang baik adalah solat yang minggalkan bekas di dalam hati dan amal perbuatan mereka.[5] Hal ini terjadi karena tiadanya perhatian terhadap perintah Allah, karena solat merupakan bentuk ketaatan yang paling utama.[6]
       Berusahalah semaksimal mungkin untuk memusatkan perhatianmu pada solat agar tidak lalai dari awal hingga akhir. Karena solat seseorang tidak akan dicatat, kecuali solat yang disertai pemahaman. Agar hal itu tercapai, maka seseorang yang akan solat hendaknya menjaga kesuciannya, baik kesucian yang nampak maupun yang kasat mata; selanjutnya memelihara sunnah-sunnah solat, amal-amal lahiriah yang berkaitan denganna, zikir-zikir dan bacaan-bacaan tasbihnya; serta hendaklah menjaga ruh solat, yaitu keikhlasan dan konsentrasi selama solat serta penghayatan hati akan makna bacaan-bacaannya.[7]
       Orang-orang yang berbuat riya atau melakukan suatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau popularitas di masyarakat. Perbuatan riya yang ditekankan di sini adalah dalam beribadah, khususnya solat, menyantuni anak yatim dan kaum miskin. Itu semua dilakukan hanya untuk mencari kenikmatan disanjung sebagai orang yang dermawan atau ahli ibadah. Padahal, apa yang dilakukannya itu adalah perbuatan yang melampaui batas.
       Surat ini ditutup dengan contoh orang yang menduskatan ajaran agama yang enggan memberi bantuan kepada sesama yang sedang mengalami kesulitan dengan apa yang ia punya, baik tenaga, pikiran, harta benda serta segala potensi yang dapat meringankan beban saudaranya. Bisa jadi, orang-orang yang enggan memberi bantuan kepada sesama adalah orang-orang kurang bersosialisasi serta memikirkan bahwa hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial, sebab perkara individu hanya akan berlaku untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah kita lakukan.

Wa Allah a’lam.


[1] Ahmad Farid, Zuhud dan Kelembutan Hati (depok: hazanah Fawa’id, 2016), h. 354
[2] Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar, 2016), h. 887
[3] Tafsir Ibnu Mas’ud (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 1104
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 15 (Ciputat: Lentera Hati, 2007), h. 550
[5] Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 12 (Jakarta: Gema Insana, 2000), h. 358
[6] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: AlQowam, 2016), h.181
[7] Al-Ghazali, Kitabul Al-Arba’in fii Ushuliddin (Jakarta: Pustaka Imani, 2000), h. 43