Rabu, 19 Oktober 2016

Surat Al-fatihah



بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ ١ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٢ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ ٣  مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ ٤ إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ ٥ ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ 
٧
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat



Pengatar: Mula-mula tampillah surah yang indah, surah pembuka yang terdiri dari tujuh ayat.[1] Al-Fatihah bukan hanya hanya menjadi pembuka dalam rangkaian surah-surah Al-Qur’an, namun juga merefleksikan tentang isi Al-Qur’an secara keseluruhan. Artinya, poin-poin utama yang dijabarkan dalam Al-Qur’an, telah dijelaskan secara rinci dalam surah Al-Fatihah.[2] Sebagai satu ekspresi pujian dan rasa syukur terhadap Allah, surah ini merupakan jantung dan jiwa Al-Qur’an.[3]
                        Surah ini berisi makna-makna Al-Qur’an yang agung, mencakup pokok-pokok dan cabang-cabang agama, membahas akidah, ibadah, tasyri’, iman kepada hari kebangkitan, iman kepada asma’ul husna (nama-nama Allah yang agung); pengkhususan ibadah, permohonan dan pertolongan, dan doa hanya kepada Allah; perintah untuk memohon diberi hidayah ke agama yang benar  dan jalan yang lurus dan dihindarkan dari jalan orang-orang yang menyimpang dari hidayah Allah Ta’ala. Surah ini termasuk surah Makiyyah[4], terdiri dari tujuh ayat, dan turun setelah surah al-Muddatsir.[5]
                        Sungguh, ketika membaca, memahami dan mengamalkan surah ini, pelakunya akan mendapatkan kenikmatan petunjuk yang diharapkan melalui Al-Qur’an.
__________

1.    Al-Qur’an adalah pemimpin dan teladan kita. Basmalah yang mengawalinya mengajarkan kita bahwa suatu pekerjaan mesti dimulai dengan basmalah.[6] Oleh karena itu disunnahkan juga membaca basmalah pada awal setiap ucapan maupun perbuatan.[7] Terdapat perbedaan pendapat mengenai status basmalah. Namun, pada umumnya basmalah dianggap sebagai ayat pertama dalam surah Al-Fatihah dan sebagai pembatas atau penanda pergantian pada tiap surah (terkecuali pada surah At-Taubah). Dalam bacaan solat, membaca basmalah dalam beberapa riwayat dapat dibaca secara keras (jahr) atau pelan dalam hati (sir)
       Ayat ini diawali dengan menyebut nama Allah. Ketika seseorang telah menyebut nama Allah dengan menyadarinya secara utuh, sebenarnya ia telah yakin bahwa Allah adalah tuhannya, karena pada hakikatnya ia adalah ciptaan Allah. Dengan menyebut Nama Allah Yang tidak ada sesembahan yang haq selain Dia, Yag memiliki seluruh sifat-sifat kesempurnaan, Yang disucikan dari segala sifat-sifat kekurangan.[8] Allah Swt. adalah Zat Yang Maha Menciptakan, Maha Mendidik dan Menguasai alam semesta, sebagaimana disebut lafaz rabb, yang bukan hanya berarti tuhan atau penguasa, namun juga berarti Zat Yang Maha Mendidik.[9]
       Mengakui Allah sebagai tuhan memiliki konsekuensi kita harus beribadah[10] kepada-Nya. Hal ini berdasar pada firman Allah “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” Q.S. Az-Zariyat (51):56. Dengan mungucapkan bismillāh, berarti penegasan bahwa pekerjaan itu harus dilakukan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab.[11]
       Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya diberikan potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Terminologi hamba ideal dalam Al-Qur’an biasanya diistilahkan dengan orang-orang yang bertakwa.[12] Lebih dari itu, pengabdian apa pun yang dilakukan dalam konteks agama mempersyaratkan adanya kesungguhan dan ketulusan. Sudah barang tentu ketulusan dan kesungguhan hanya dapat diwujudkan dengan sikap sukarela. Kesukarelaan adalah asas inisiasi keberagamaan menuju taraf berketuhanan yang berkecintaan.[13]
       Huruf dalam ayat pertama ini berarti memulai, yakni memulai dengan nama Allah.[14] Huruf Ba yang mengawali ayat ini adalah Bahā’ullāh yang artinya keindahan Allah. Huruf Sin adalah Sanā’ullahi yang artinya ketinggian Allah sehingga tiada yang lebih tinggi dari-Nya. Huruf Mim adalah Mulkullāhi artinya kerajaan-Nya, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.[15]
       Allah mengasihi dan menyayangi seluruh hamba-Nya, terlebih apabila ia mengakui ke-esa-an Allah dan beribadah kepada-Nya. Kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang berarti Maha Pengasih dan Maha Penyayang menunjukkan bahwa hal tersebut adalah implementasi dari rasa cinta yang telah Allah ciptakan pertama kali. Allah ingin menegaskan bahwa Dia adalah satu-satunya Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang serta mengajak kita untuk mengikuti jejak-Nya dalam mempraktikkan rasa kasih dan sayang dalam balutan cinta; baik saat beribadah kepada Allah maupun pergaulan sesama makhluk.
       Ar-Rahmân (Yang Maha Pengasih) artinya adalah Zat yang keluasan rahmat-Nya meliputi semua makhluk. Adapun ar-Rahîm (Yang Maha Penyayang) artinya bahwa Dia menyayangi para kekasih-Nya yang terdiri dari para nabi dan orang-orang saleh.[16] Keduanya adalah bentuk intensif yang menunjukkan adanya segi-segi yang berbeda tentang sifat kasih Allah.[17]
2.    Seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah. Maka sudah sepatutnya segala puji hanya bagi Allah karena telah menciptakan alam semesta beserta isinya dengan rasa cinta kasih yang penuh kebijaksanaan.[18]Sedangkan alam semesta adalah apa-apa selain Allah.[19]Al-Qur’an telah menggambarkan keberadaan alam ini dan menyeru agar manusia menggunakan pikirannya untuk merenungkan ciptaan Allah.[20]
       Kata ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ merupakan pujian kepada Allah dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna dan perbutan-perbuatan-Nya. Kata ini juga sering diucapkan sebagai rasa syukur setelah memperoleh kesenangan dan kebahagiaan. Ungkapan syukur adalah bentuk keharusan karena manfaat yang sangat besar.  Menurut M. Amin Suma[21], syukur itu hendaknya memenuhi tiga kriteria, yakni diungkapkan dengan lisan, hati (keyakinan bahwa nikmat itu dari Allah semata) serta diimplementasikan dengan ibadah.
       dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri” {Q.S. Luqman (31):12}
       sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat” {Q.S. Ibrahim (14):7}
       Nikmat terbesar yang diterima manusia salah satunya adalah Allah telah menciptakan semesta alam, tempat kita tinggal. Secara garis besar manusia akan menjalani dua tahap kehidupan, yakni kehidupan di dunia dan akhirat. Maka sudah sepatutnya bagi orang yang beriman kepada Allah menyiapkan diri untuk kehidupan akhirat dengan beribadah dan berbuat kebaikan baik untuk diri sendiri ataupun sesama.
3.    Allah kembali menekankan bahwa Dia adalah satu-satunya Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada seluruh hamba-Nya. Dengan adanya pengulangan ini, keraguan bagi orang yang beriman akan pupus.
       Kata  Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat pengasih yang Maha Luas lagi Agung yang mencakup segala sesuatu dan seluruh makhluk hidup. Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa yang mengikuti jejak para nabi dan rasul-Nya. Mereka mendapatkan rahmat yang bersifat mutlak, sedangkan yang lain juga mendapatkan bagiannya.[22] Bagaimanapun terdapat perbedaan mengenai pengertian makna kedua sifat ini, mana yang lebih jauh dan lebih luas jangkauan rahmatnya. Kedua sifat ini meliputi semua makna rahmat, keadaan-keadaannya, dan lapang-lapangnya.[23] Manusia kadang-kadang lupa akan rahmat karena tidak pernah dipisahkan dari rahmat.[24] Ada pula yang menafsirkan bahwa al-rahmân adalah  rahmat Allah yang diberikan di dunia, sedangkan al-rahîm adalah rahmat Allah yang diberikan hanya di akhirat kelak.[25]
4.    Kepastian adanya hari perhitungan amal (hisab)[26] dan pembalasan. “Malik” adalah puncak tingkat kekuasaan, dan “yaumiddin” adalah hari pembalasan di akhirat, yakni setiap perbuatan hamba-Nya akan dimintai pertanggung jawaban. Apabila amalnya lebih banyak, maka surgalah untuknya. Sebaliknya, jika dosa menimbun amalnya, maka ia sudah memesan tempat di neraka. Menurut Ibnu Abbas, terdapat pengecualian bagi orang yang diampuni.
       Allah sebagai satu-satunya pemilik atau penguasa hari pembalasan berarti hanya Ia yang berhak untuk memberikan pahala dan balasan bagi seluruh hamba dengan Rahmat-Nya. Setelah meyakini akan adanya hari pembalsan, maka bagi setiap orang yang beriman tentu akan mempertimbangkan setiap amal yang akan ia lakukan. Baik yang berorientasi pada urusan ukhrowi maupun duniawi. Kedua hal tersebut haruslah seimbang dan berjalan beriringan.
5.    Maksud x ßç7÷ètR$­ƒÎ) adalah: sesungguhnya, kami ini, ya Allah, hanya akan beribadah dan taat karena-Mu serta hanya pada-Mu. Kami tidak akan mau menyembah dan taat kepada selain-Mu, sebab ini adalah pengakuan dan janji yang harus diamalkan oleh setiap orang yang beriman. Menurut Ibnu Taimiyah, ibadah adalah suatu nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Alah swt, baik ucapan maupun perbuatan.
       Ayat kelima ini menekankan kembali mengenai ke-esa-an Allah dengan mengaplikasikannya dalam bentuk beribadah serta memohon pertolongan. Pada umumnya, seseorang akan membutuhkan pertolongan pada saat kesulitan. Lain halnya dengan memohon pertolongan kepada Allah. Pertolongan yang Allah berikan bisa berupa rahmat, keberkahan, memiliki anggota keluarga yang salih dan salihah serta kehidupan yang berkecukupan dan istiqomah dalam beribadah. Arti yang luas daripada ibadah ilah memperhambakan diri dengan penuh keinsafan dan kerendahan dan dipatrikan lagi oleh cinta.[27]
       Hendaklah seseorang yang ingin berdoa atau meinta pertolongan didahului dengan ibadah sebagaimana lazimnya setelah solat dilanjutkan zikir dan baru diakhiri dengan doa. Memohon pertolongan di sini adalah dalam upaya manusia memelihara dirinya dari potensi keburukan dan cengkraman hawa nafsu. Niat untuk melakukan ibadah ternyata bisa tertanggung oleh pikiran yang merasa terhalangi oleh dunia, manusia, setan serta hawa nafsu. Maka, seseorang yang ingin mencapai tujuan ibadah harus mampu melewati godaan-godaan yang ditimbulkan oleh empat hal di atas.[28]
6.    x tLìÉ)tGó¡ßJø9$#ÞºuŽÅ_Ç9$#$tRÏ÷d$# maksudnya ialah permintaan hamba yang beriman tentang keadaan untuk dibukakan pendengaran, penglihatan dan hatinya dari ajaran-ajaran Islam yang lurus, yang benar dengan bimbingan dan taufiq. Islam adalah jalan yang lurus, karena Islam membahagiakan dan penuh nikmat[29], yakni jalan yang paling mudah dan nyaman untuk dilalui. Dalam perjalanan yang lurus, seseorang tidak akan terlalu merasa letih karena ia fokus ke tujuan dan den­­­­­gan segera ia tiba di tempat yang diharapkan, yakni surga. Hal ini harus didukung dengan sifat toleran dalam menyikapi perbedaan di kalangan umat Islam untuk menghindari perpecahan.
       Ayat ini juga bisa bermakna permohonan kepada Allah untuk diberikan kekuatan dalam menegakkan ajaran agama. Ajaran-ajaran agama dimaksudkan sebagai panduan untuk menjaga agar jalinan koneksitas dengan Tuhan tetap terjalin. Dengan jalinan koneksitas yang berkesinambungan, manusia akan mampu melaksanakan peran dan fungsinya bagi kehidupan.[30] Kedudukan Islam sebagai penyempurna dan Muhammad Saw. sebagai pembawa risalah kesempurnaan dengan tugas menyempurnakan akhlak mulia.[31] Jalan yang lurus juga berarti jalan yang jelas menghantarkan kepada (keridhaan) Allah dan surga-Nya. Yaitu dengan cara mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.[32] Untuk itu, jalan yang lurus juga dapat diartikan sebagai Al-Qur’an. Sehingga, tunjukilah kami jalan yang lurus memiliki maksud permohonan kita untuk diberikan pemahaman akan Al-Qur’an dan kekuatan untuk mengamalkannya.
       Jalan yang lurus itu akan diberikan kepada orang-orang yang beriman sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Hajj(22):54. Maka, kita harus tetap dalam koridor yang lurus itu, yakni beriman serta waspada dengan kebodohan atau sikap keras kepala dan hawa nafsu yang boleh jadi membawa kita menjauhi jalan yang lurus itu. 
7.    Siapa saja yang telah mendapat petunjuk adalah orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yakni nikmat iman dan Islam. Petunjuk kepada jalan yang lurus (surga) terdapat pada Al-Qur’an dan As-Sunah. Sebagaimana dalam QS. An-Nisâ’: 69 bahwa orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah adalah siapa saja yang mentaati Allah dan Rasul-Nya. Selain itu ia juga harus berusaha istiqamah dalam ketaatannya guna mendapat hidayah.
       Selain ada hamba yang mendapat nikmat ada pula yang dimurkai dan sesat. Meraka adalah orang-orang yang tidak beribadah, melampaui batas (ajaran agama), mengerjakan hal buruk yang menyebabkan kerusakan diri sendiri, orang lain maupun alam semesta. Sesat di sini bisa disebabkan ketiadaan ilmu dalam beribadah, juga bisa disebabkan penyimpangan-penyimpangan.
       Orang yang dimurkai ialah yang sengaja keluar dari jalan yang benar karena memperturutkan hawa nafsu, padahal dia sudah mengetahui jalan yang benar; yaitu orang yang telah sampai kepadanya kebenaran agama lalu ditolak dan ditantangnya. Adapun orang yang sesat ialah orang yang berani-berani saja membuat jalan sendiri di luar yang digariskan Allah. Tidak mengenal kebenaran atau tidak dikenalnya menurut maksudnya yang sebenarnya.[33]
       Dengan demikian, tiga ayat pertama adalah bagi Allah Azza wa Jalla; dan tiga ayat berikutnya adalah bagi hamba; sedangkan satu ayat dibagi dua antara hamba dan Rabbnya, yaitu ayat keempat.[34] Jika direnungkan pengertian al-Fatihah sebaik-baiknya, niscaya akan terasa bahwa dia bukan semata-mata bacaan untuk ibadah, melainkan juga membimbing untuk membentuk pandangan hidup Muslim.[35]

Wa Allah a’lam.



[1] Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali (Bogor: Litera AntarNusa, 2009), h. 14
[2] Miftahul Asror Malik, The Magic of Al-Qur’anul-Karim (Yogyakarta: Semesta Hikmah, 2017), h. 2
[3] Syeikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur’an (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 1
[4] Ayat Makiyyah adalah ayat yang diturunkan sebelum Rasul Saw. hijrah, atau bisa juga berarti ayat-ayat yang diturunkan di Kota Mekah dan atau untuk masyarakat Mekah
[5] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 1 (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 30
[6] Muhammad Chirzin, Tafsir Al-Fatihah dan Juz ‘Amma (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, t.t), h. 9
[7] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2012), h. 63
[8] As’ad Mahmud Humad, Tafsir Singkat Al-Qur’an Juz 1 (Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2017), h. 24
[9] Miftahul Asror Malik, h. 2
[10] Jurjani mengatakan bahwa Ibadah ialah perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf, tidak menurut hawa nafsunya, untuk memuliakan Tuhanmu. Ibnu katsir mengartikan ibadah sebagai himpunan cinta, ketundukan, dan rasa takut yang sempurna.
[11] Nurcholis Madjid, Pencerahan Satu Menit (Depok: Imania, 2013), h. 70
[12] Nasaruddin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan (Jakarta: Quanta, 2014), h. 14
[13] Sujiwo Tejo, MN. Kamba, Tuhan Maha Asyik (Depok: Imania, 2016), h. 135
[14] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad Azhari, az-Zâhir fi Gharîb asy-Syâfi’iyy (Beirut: Dar al-Basya’ir al-Islamiyyah, 1998), h. 282 lihat juga dalam Tafsir Imam Syari’i Jilid 1, Muhaqqiq Syaikh Ahmad bin Musthafa al-Farran (Jakarta: Almahira, 2008), h. 167
[15] Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi (Banten), Tafsir Al-Munir (Marah Labid) Jilid 1 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011), h.4
[16] ‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar Jilid 1 (Jakarta: Qisthi Press, 2007), h. 7
[17] Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali  Jilid 1 (Bogor: Litera AntarNusa, 2009), h. 14
[18] Sukron Abdillah, Cinta Dunia Akhirat (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014), h. 57
[19] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: Al-Qowam, 2016), h. 5
[20] Ahmad Yusuf Al-Hajj, Mukjizat Al-Qur’an Yang Tak Terbantahkan (Solo: Aqwam, 2016), h. 16
[21] Guru besar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[22] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: Al-Qowam, 2016), h. 4
[23] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 1 (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 26
[24] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 67
[25] Muhammad Amin Suma, Tafsir Al-Amin Bedah Surah Al-Fatihah (Jakarta AMZAH, 2018), h. 106
[26] Ibnu Mas’ud, Tafsir Ibnu Mas’ud (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 129
[27] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 71
[28] Imam Al-Ghazali, Minhajul Abidin (Jakarta: Darul Ulum Press, 1995), h. 8
[29] Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar, 2015), h. 2
[30] Sujiwo Tejo, MN. Kamba, Tuhan Maha Asyik (Depok: Imania, 2016), h. 98
[31] Candra Malik, Makrifat Cinta (Jakarta: Moura Books, 2012), h. 80
[32] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: Al-Qowam, 2016), h. 7
[33] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 77
[34] Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Tafsir Juz ‘Amma (Bekasi: Darul Falah, 2016), h. 7
[35] HAMKA, h. 90