Puasa Menurut Ahli Tafsir
oleh: Ahmad Fauzan
Berpuasa di bulan ramadhan,
adalah salah satu ciri seorang muslim. Bulan puasa, biasanya selalu disambut
dengan meriah. Sebab, puasa adalah penanda awal kita segera meraih kemenangan.
Menang atas nafsu[1],
menang terhadap keegoisan dan menang atas nama kemanusiaan. Siapapun akan riang
gembiara menyambut datangnya bulan ramadhan, yang sering identik dengan menjamurnya
iklan sirup dan biskuit kaleng. Berpuasa
ini telah dituliskan atau diwajibkan dalam Al-Qur’an berdasar Q.S. Al-Baqarah
(2):184 yang hampir semua orang familier terhadap ayat tersebut bahkan tak
jarang telah hapal di dalam kepala. Bunyi ayatnya sebagai sebikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
Dari ayat di atas, kita bisa membahas secara
mendalam mengenai tiga hal pokok yang sangat penting, yaitu keimanan, puasa,
dan takwa.
Pertama,
Keminanan. Iman, sering diartikan sebagai kepercayaan, keyakinan, atau akidah. Selanjutnya,
iman ini dirumuskan dalam rukun iman yang enam[2]. Kalua
seseorang sudah mengimani enam perkara tersbut, seseorang bisa dikategorikan
sebagai orang yang beriman. Padahal tidak semudah itu. Enam perkara tersebut
haruslah dituangkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, ada standar operasional
dalam beriman. Iman, tidak hanya urusan individu semata. Iman ialah keyakinan yang
kemudian memancarkan nilai-nilai kemanusian. Tidak akan sempurna iman seseorang
apabila ia menzalimi diri sendiri, terlebih pada makhluk lain—bahkan kepada
makhluk yang lemah, seperti sungai yang dijadikan tempat
membuang sampah, gunung dikeruk, buruknya pengelolaan sampah, penebangan hutang yang ilegal, dan banyak contoh
lainnya. Beriman haruslah memperbaiki diri yang kemudian berdampak positif kepada
sesama. Karena dalam keimanan ada keselamatan dan kedamaian.
Kedua,
Puasa. Puasa sebagaimana kita ketahui bersama adalah kegiatan menahan diri dari
apa yang dapat membatalkannya, dimulai dari terbit fajar hingga terbenam
matahari. Muhammad Asad dalam Tafsir The Message of the Quran mengatakan bahwa puasa
memiliki tujuan untuk menyucikan jiwa dengan proses latihan pengendalian diri dan sadar akan
pengalaman hidup yang pernah dilalui. Berpuasa juga sebagai pengingat turunnya Al-Qur’an. Sedangkan Ibnu Katsir
dalam tafsirnya mengatakan bahwa tujuan berpuasa adalah untuk membersihkan diri
(suci) dari kebiasaan yang jelak dan akhlak yang tidak terpuji. Sayid Muhammad Husain Thabathabai
dalam Tafsir Al-Mizan mengatakan bahwa puasa adalah berpantang dari segala yang
diidamkan atau diingankan. Berpuasa, pada intinya bukanlah menahan
atau berpantang, melainkan mengelola atau memanej keinginan-keinginan dengan baik.
Ketiga, Ketakwaan. Seringkali kali kita mendengar takwa adalah menjalankan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya. Asad menambahkan, bahwa takwa adalah
senantiasa sadar akan Allah (berzikir). Sedangkan Thabathabai
menilai takwa sebagai kualitas terpuji yang komprehensif meliputi level
keimanan sejati. Dengan demikian, takwa adalah buah dari keimanan yang menjadi
pondasi dalam menjalani kehidupan. Sebab, takwa
adalah upaya sungguh-sungguh untuk tidak bermaksiat.
Maka hal yang dapat kita simpulkan adalah, semoga
puasa yang kita lakukan dapat menjadikan kita sebagai pribadi dengan keyakinan yang benar serta menjunjung nilai-nilai kemanusian agar memperoleh derajat
kehidupan yang lebih baik.
Wa Allah
a’lam.
[1] Nafsu (yang
buruk) adalah keinginan tanpa pertimbangan akal sehat.
[2] Enam rukun iman: Iman kepada Allah; Iman Kepada malaikat-malaikat Allah; Iman
kepada kitab-kitab Allah; Iman kepada nabi dan rasul Allah; Iman kepada hari
kiamat; Iman kepada qadha dan qadhar (ketetapan Allah)