Jumat, 01 Mei 2020

ISLAM & INDOMIE: CINTA YANG HAKIKI

oleh: Ahmad Fauzan

       Islam, sebagaimana sebuah ajaran yang mengajarkan kebaikan; mengajak umatnya untuk hidup lebih baik. Kehidupan yang lebih baik adalah kehidupan yang dapat menimbulkan rasa bahagia atau ketenangan dan manfaat seluas mungkin, baik untuk diri sendiri maupun kepada makhluk lain. Islam, sebagai agama yang hadir kurang lebih 14 abad lalu di Saudi Arabia, telah memberikan tuntunan hidup yang lengkap bagi umatnya, termasuk dalam hal makanan. Sebab, makhluk hidup tidak akan mampu menjalankan aktivitas apabila tidak ditopang oleh makanan sebagai kebutuhan dasar.
       Islam, sebagai agama penuh cinta telah memberikan arahan bagi umatnya—secara khusus—terkait makanan. Islam membebaskan manusia untuk memakan apa pun. Islam hanya membatasi pada hal yang halal dan baik (halal dan baik sumber atau zatnya, halal dan baik cara pengelolaannya serta cara memakannya) serta waktu memakannya, misalnya karena puasa atau ada halangan tertentu. Itulah aturan mengenai makanan dalam Islam yang bersumber dari al-Qur’an maupun sunnah nabi.
       Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di planet bumi, memiliki sebuah mahakarya terkait makanan. Sebuah mahakarya yang tiada tandingannya seantero jagad raya. Mahakarya tersebut bernama Indomie dengan slogan seleraku. Indomie adalah gabungan dari Indonesia dan mie: sebuah ide brilian yang sangat tidak terpikirkan oleh siapa pun, bahkan Einstein sekali pun. Sungguh, Indomie adalah nikmat dari Tuhan yang sangat harus disyukuri. Bagaimana mungkin umat muslim di Indonesia khususnya, tidak bersyukur dengan adanya Indomie di Indonesia yang bahkan telah merambah ke berbagai negara.
       Apabila dilihat dari kacamata Islam, indomie dinilai memiliki arah yang sama dalam ajaran Islam yang mengajarkan umatnya untuk memperhatikan kehidupan. Pelajan ini antara lain:
       Pertama, dari segi rasa dan ukuran. Indomie goreng misalnya, dengan rasa yang demikian dan ukuran yang segitu, tentu membuat penikmatnya susah untuk berpaling ke lain hati. Begitu pula Islam, Islam dengan ajarannya yang ideal adalah sesuatu yang sangat pas dalam ukuran hidup manusia. Tidak lebih tidak kurang. Begitupala Indomie goreng, apabila dimasak dua bungkus berlebih, dimasak sebungkus kurang. Dalam hal ini Islam mengajarkan untuk makan dan minum dengan pas, bahkan dalam sebuah dirawayat dikatan hendaknya berhenti makan sebelum kenyang. Dan ternyata indomie telah melaksanakan ini.
       Kedua, terjangkau. Islam adalah agama yang mengajarkan kebersamaan, sebab dalam kebersamaan akan hadir tolong-menolong dan kepeduluian antar sesama. Islam menganjurkan berbisnis dilakukan selain untuk beraktivitas, juga sebagai wujud peduli sesama. Termasuk dalam hal ini adalah apa yang dilakukan oleh Indofood yang telah meracik dan menghadirkan indomie bagi seluruh rakyat Indonesia. Kehadiran indomie ini dapat dijangkau oleh siapa pun, dan yang terpenting ialah harganya yang tidak mencekik dompet. Sekalai lagi, ini adalah bukti hubungan yang erat antara Islam dan indomie.
       Ketiga, solusi umat. Ketika Arab dilanda kejahilan atau kebodohan, Islam hadir untuk mengembalikan fitrah makhluk hidup yang tak lagi mengikuti jalan yang lurus menuju jalan cahaya. Begitu pula dengan Indomie. Keadaan sesulit apa pun, Indomie siap menemani umat dan menjadi solusi dalam berbagai keadaan. Indomie bisa dijadikan makanan yang tak sombong disandingkan dengan makanan lain. Indomie selalu bisa berkolaborasi dengan makanan lain untuk melahirkan efek bahagia, terlebih kepada kaum papa khususnya diakhir bulan, seperti: mahasiswa anak kost-an, ibu rumah tangga yang tak mau repot menyuapi anaknya makan, atau kamu yang ketika tengah malam diselumuti kelaparan.
       Itulah beberapa nilai Indomie yang sejalan dengan Islam. Hanya saja, ada satu hal dari Indomie yang sampai saat ini belum ditemukan jawabannya, baik dilihat dari perspektif Islam, maupun perspektif ilmu apa pun. Hal itu akan terus menghantui bahkan patut diduga sampai hari kiamat terjadi. Hal yang membutuhkan jawaban itu adalah mengapa Indomie buatan orang lain jauh lebih enak daripada buatan sendiri? Hanya Tuhan yang tahu.

Sabtu, 18 April 2020

Puasa Menurut Ahli Tafsir


Puasa Menurut Ahli Tafsir
oleh: Ahmad Fauzan

       Berpuasa di bulan ramadhan, adalah salah satu ciri seorang muslim. Bulan puasa, biasanya selalu disambut dengan meriah. Sebab, puasa adalah penanda awal kita segera meraih kemenangan. Menang atas nafsu[1], menang terhadap keegoisan dan menang atas nama kemanusiaan. Siapapun akan riang gembiara menyambut datangnya bulan ramadhan, yang sering identik dengan menjamurnya iklan sirup dan biskuit kaleng. Berpuasa ini telah dituliskan atau diwajibkan dalam Al-Qur’an berdasar Q.S. Al-Baqarah (2):184 yang hampir semua orang familier terhadap ayat tersebut bahkan tak jarang telah hapal di dalam kepala. Bunyi ayatnya sebagai sebikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”

       Dari ayat di atas, kita bisa membahas secara mendalam mengenai tiga hal pokok yang sangat penting, yaitu keimanan, puasa, dan takwa.

       Pertama, Keminanan. Iman, sering diartikan sebagai kepercayaan, keyakinan, atau akidah. Selanjutnya, iman ini dirumuskan dalam rukun iman yang enam[2]. Kalua seseorang sudah mengimani enam perkara tersbut, seseorang bisa dikategorikan sebagai orang yang beriman. Padahal tidak semudah itu. Enam perkara tersebut haruslah dituangkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, ada standar operasional dalam beriman. Iman, tidak hanya urusan individu semata. Iman ialah keyakinan yang kemudian memancarkan nilai-nilai kemanusian. Tidak akan sempurna iman seseorang apabila ia menzalimi diri sendiri, terlebih pada makhluk lain—bahkan kepada makhluk yang lemah, seperti sungai yang dijadikan tempat membuang sampah, gunung dikeruk, buruknya pengelolaan sampah, penebangan hutang yang ilegal, dan banyak contoh lainnya. Beriman haruslah memperbaiki diri yang kemudian berdampak positif kepada sesama. Karena dalam keimanan ada keselamatan dan kedamaian.

       Kedua, Puasa. Puasa sebagaimana kita ketahui bersama adalah kegiatan menahan diri dari apa yang dapat membatalkannya, dimulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Muhammad Asad dalam Tafsir The Message of the Quran mengatakan bahwa puasa memiliki tujuan untuk menyucikan jiwa dengan proses latihan pengendalian diri dan sadar akan pengalaman hidup yang pernah dilalui. Berpuasa juga sebagai pengingat turunnya Al-Qur’an. Sedangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa tujuan berpuasa adalah untuk membersihkan diri (suci) dari kebiasaan yang jelak dan akhlak yang tidak terpuji. Sayid Muhammad Husain Thabathabai dalam Tafsir Al-Mizan mengatakan bahwa puasa adalah berpantang dari segala yang diidamkan atau diingankan. Berpuasa, pada intinya bukanlah menahan atau berpantang, melainkan mengelola atau memanej keinginan-keinginan dengan baik.

       Ketiga, Ketakwaan. Seringkali kali kita mendengar takwa adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Asad menambahkan, bahwa takwa adalah senantiasa sadar akan Allah (berzikir). Sedangkan Thabathabai menilai takwa sebagai kualitas terpuji yang komprehensif meliputi level keimanan sejati. Dengan demikian, takwa adalah buah dari keimanan yang menjadi pondasi dalam menjalani kehidupan. Sebab, takwa adalah upaya sungguh-sungguh untuk tidak bermaksiat.

       Maka hal yang dapat kita simpulkan adalah, semoga puasa yang kita lakukan dapat menjadikan kita sebagai pribadi dengan keyakinan yang benar serta menjunjung nilai-nilai kemanusian agar memperoleh derajat kehidupan yang lebih baik.

Wa Allah a’lam.



[1] Nafsu (yang buruk) adalah keinginan tanpa pertimbangan akal sehat.
[2] Enam rukun iman: Iman kepada Allah; Iman Kepada malaikat-malaikat Allah; Iman kepada kitab-kitab Allah; Iman kepada nabi dan rasul Allah; Iman kepada hari kiamat; Iman kepada qadha dan qadhar (ketetapan Allah)


Jumat, 03 April 2020

Rebahan Perspektif Al-Qur’an


Rebahan Perspektif Al-Qur’an
oleh: Ahmad Fauzan

       Rebahan bisa dimaknai sebagai proses berbaring. Kata ini juga bisa bermakna beristirahat. Yaitu, memberikan kesempatan pada tubuh untuk mengembalikan energi setelah melakukan aktivitas. Kata rebahan juga memiliki istilah lain yaitu leyeh-leyeh atau mager (males gerak). Kata ini mengandung makna tiduran; tidak melakukan aktivitas yang berat, bahkan biasanya hanya cenderung memainkan hp—entah untuk apa saja yang intinya menghabiskan kuota. Rebahan, bagi kaum intelektual bermakna menyimpan dan mengoptimalkan tenaga—padahal maknanya bisa lain cerita. Rebahan adalah solusi luar biasa bagi para pemalas yang tidak memiliki visi dalam hidupnya. Rebahan dijadikan tameng, bukan sebagai sarana untuk berdamai dengan keadaan. Rebahan ini sungguh dielu-elukan oleh pengikutnya dengan berslogan “rebahan adalah kita, kita adalah rabahan”. Itulah makna rebahan yang hakiki bagi sebagian orang. Sebab sesungguhnya, rebahan adalah nikmat yang harus disyukuri.
       Sebagai makhluk yang diciptakan dalam sebaik-baik bentuk dan potensi, manusia harusnya memaksimalkan waktu dalam hidupnya agar tidak menjadi orang yang merugi. Manusia yang baik tentu harus memiliki perencanaan dan tujuan hidup guna meraih ketenangan dan kebahagiaan. Untuk meraih tujuan hidup tersebut diperlukan mujahadah serta konsistensi agar tetap pada jalan yang lurus. Itu semua tentu dilakukan tidak dengan mengisi waktu hanya dengan leyeh-leyeh, rebahan atau mageran.
       Islam, sebagai agama yang penuh cinta, mengajarkan agar umatnya selalu beraktivitas, apa pun itu. Aktivitas ibadah maupun kegiatan sosial semua harus dilakukan dengan baik dan tidak merugikan pihak lain. Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki perencanaan kegiatan yang matang, yang pula dikondisikan dengan keadaan. Ingat, tidak ada istilah mager atau rebahan dalam Al-Qur’an. Kalaupun ada, rebaham atau berbaring harus dilakukan dengan tetap mengingat Allah Swt sebagai pencipta segalanya {Q.S.Ali Imran: 191). Sebab, Al-Qur’an menyuruh untuk mengaktualisasikan diri dalam bpelbagai kegitan. Mari tengok Q.S Al-Insyirah (7-8) yang singkat namun luas sekali maknaya
فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ  ٧ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرۡغَب  ٨
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”


Dari ayat di atas, banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil, di antaranya:
1.    Harus memiliki visi dan misi serta tujuan dalam kehidupan
       Hidup artinya bergerak; beraktivitas. Untuk bergerak dan beraktivitas itu tentu diperlukan perencaan yang tertuang dalam visi dan misi serta tujuan. Jadikan hidup yang indah ini sebagai sarana berbagi kasih sayang, sembari meningkatkan kualitas diri sehingga terhindar dari seburuk-buruk tempat yang ada. Perencanaan ini harus didasari oleh pengetahuan serta kesadaran diri, agar visi dan misi tersebut disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki.
2.    Bersungguh-sungguh dalam menjalan aktivitas
       Sunggug-sungguh dalam menjalankan semua aktivits, termasuk ibadah, bekerja, ataupun kerja sosial lainnya harus menjadi pondasi utama. Selanjutnya, kegiatan tersebut harus dilakukan efektif dan efisien. Sehingga tidak memakan waktu, tenaga bahkan harta yang kemudian justru memberatkan. Berhentilah dalam beraktivitas hanya karena dua hal, pertama karena lelah, kedua karena selesai. Kesehatan adalah hal yang utama selain beresnya suatu perkara. Percuma suatu kegiatan selesai, tapi yang melakukan tidak bisa menikmati hasil usahanya. Proporsionallah dalam beraktivitas, kira-kira demikian. Apabila lelah, beristirahat; bukan rebahan selama mungkin. Rebahan hanya sejenak, dijakan fase menarik napas untuk melanjutkan aktivitas.
3.    Tidak memiliki waktu luang yang terbuang sia-sia
       Waktu adalah satuan yang terus maju. Tidak dapat berhenti atau ditarik mundur. Sebab, manusia tak memiliki kuasa di atas waktu. Manusia lemah di dalam waktu. Untuk itu, sebagai pribadi yang baik hendaknya kita memaksimalkan waktu yang dimiliki. Gunakan untuk untuk meningkatkan keimanan dan amal saleh. Keimanan adalah keyakinan berujung pada ketakwaan. Sedangkan amal saleh adalah perbuatan yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi sesama makhluk.
4.    Berharap pada Tuhan Yang Maha Cinta
       Hanya Allah Tuhan Yang Maha Cinta yang telah memberi semua nikmat kepada kita yang tak terhitung jumlahnya. Jadi, wajarlah bila pribadi lemah seperti kita ini hanya bersandar pada Tuhan Semesta Alam. Tuhan yang mengusai makhluk. Usaha telah kita lakukan dengan sungguh-sungguh, maka tidak akan lengkap rasanya tanpa permohonan dan pertolong Allah di dalamnya. Itulah mengapa, kita dianjurkan pula dalam melakukan segala hal harus dimulai dengan membaca basmalah; menghadirkan selalu Allah dalam diri dan aktivitas kita seraya memohon ridlo-Nya