Surat At-Tîn
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.
Dan demi bukit Sinai. Dan demi kota (Mekah) Ini yang aman. Sesungguhnya kami
Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan
sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah hakim yang
seadil-adilnya?
_______
Pengantar:
Surah ini diwahyukan setelah Surah Al-Burûj (85) ini merumuskan suatu
kebenaran moral yang fundamental, dengan menekankan fakta bahwa kebenaran itu
merupakan hal yang umum bagi seluruh ajaran agama yang sejati.[1] Hakikat
pokok yang dipaparkan surah ini adalah hakikat fitrah yang lurus yang Allah
menciptakan manusia atas fitrah ini. Istiqamah tabiatnya bersama tabiat iman,
serta jatuhnya manusia dan kerendahannya ketika menyimpangdari fitrah yang
benar dan iman yang lurus.[2]
1. Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun terdapat
berbabagai pendapat mengenai ayat ini, Pertama, Tin dan Zaitun adalah
buah tin dan buah zaitun yang dikenal. Buah tin dinilai dapat membersihkan
kotoran dalam perut, ini mengindikasikan kekuasaan Penciptanya. Sedangkan zaitun
memiliki berbagai macam manfaat yang luar biasa. Kedua, Tin adalah
masjid Nuh as. Yang dibangun di atas gunung judi. Sedangkan zaitun adalah
Baitul Maqdis. Ketiga, Tin adalah Masjid al-Haram, sedangkan zaitun
adalah Masjid al-Aqsa. Keempat, Tin adalah masjid Damaskus, sedangkan
zaitun adalah Baitul Maqdis. Kelima, keduanya adalah nama gunung. Keenam,
tin adalah masjid ashabul kahfi, sedangkan zaitun adalah masjid liya’. Ketujuh,
tin adalah gunung di antara Helwan dan Hamadzan, sedangkan zaitun adalah gunung
di Syam.[3]
Allah menyebutkan keduanya
dalam sumpah-Nya, karena di dalamnya terkandung banyak maslahat dan manfaat. Sesungguhnya
buah Tîn adalah buah yang baik yang tidak asing lagi, juga merupakan makanan
yang lembut dan cepat dicerna. Buah Tîn dapat dijadikan sebagai obat berbagai
penyakit, melembutkan watak, menggemukkan badan, dan membuka sumbatan hati dan
limpa serta dapat menyembuhkan penyakit wasir. Sedangkan buah Zaitun dapat
dijadikan lauk pauk.[4]
Buah tin menunjukkan kemanisan, zaitun menunjukkan kemurnian. Thur menunjukkan
kekokohan, dan kota yang aman menunjukkan keamanan.[5]
2. Dan demi bukit Sinai, Memang ulama
hampir tidak berbeda pendapat tentang arti ath-Thûr sebagai tempat Nabi
Mûsȃ as. Menerima wahyu Ilahi. Kata ath-thûr dipahami oleh sementara
ulama dalam arti gunung, di mana Nabi Mûsȃ as. Menerima wahyu Ilahi, yaitu yang
berlokasi di Sinai, Mesir. Thȃhir Ibn ‘Ȃsyûr berpendapat bahwa firman-firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Mûsȃ itu populer dengan nama tempat ia turun
yakni Thûr dan yang diucapkan dalam bahasa Arab dengan Taurat.[6]
3. Dan demi kota (Mekah) Ini yang aman, Mekah al-Mukarramah yang telah dimuliakan
Allah Swt. Dengan Ka’bah yang mulia, kelahiran Nabi Muhammad saw. dan
pengutusan beliau di dalam kota tersebut.[7] Menyebutnnya
sebagai kota yang aman, mengingat bahwa Dia telah mengharamkan perbuatan saling
membunuh di dalamnya. Begitulah kota Makkah menjadi kota yang aman, tak seorang
pun penghuninya akan merasa ketakutan di dalamnya.[8]
4. Sesungguhnya
kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Syaikh Muhammad
‘Abduh mengatakan dalam keaslian fitrahnya, manusia adalah makhluk yang jauh
dari egoisme, dengan hati yang peka dalam berkasih sayang, maka ia pun hidup
penuh kebahagiaan. Maksudnya adalah bahwa Allah swt. telah menciptakan manusia
dengan potensi yang sangat luar biasa maksimal sehingga dengan potensi tersebut
(fisik, mental dan spiritual) manusia mampu menjalankan tugasnya sebagai
khalifah di muka bumi. Salman Harun mengatakan dari segi fisik, hanya menusia
yang memiliki bentuk tubuh dan paras yang paling cantik. Kemudian dari segi
mental, hanya manusia yang memiliki pikiran dan perasaan yang sempurna. Pikiran
(akal) dan perasaan (hati) itu menyalakan akal budi sehingga berkembang.
Hasilnya: hanya manusia yang memiliki peradaban dan kebudayaan. Kemudian dari
segi spiritual, hanya manusia yang beragama. Hanya manusia yang dapat menagasah
iman dan takwanya segingga mengantarnya kederajat yang setinggi-tingginya.[9]
Menurut Hamka, maka dengan keseimbangan
tubuh dan pedoman akal, dapatlah dia hidup di muka bumi sebagai pengatur.[10] Tetapi
manusia itu memang pelupa. Ia tidak menyadari keistimewaan yang dimilikinya.
Bahkan ia menyangka seolah-olah dirinya tak ubah seperti makhluk lain.
Akibatnya ia malang melintang dalam berbagai perbuatan yang bertentangan dengan
akal sehat dan fitrah kejadiannya.[11]
Sungguh Allah swt. Telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang paling bagus, perawakan yang paling indah, dan rupa
yang enak dipandang. Anggota-anggota tubuhnya selaras, bentuknya serasi dan
perawakannya seimbang.[12] Kemudian
Allah swt. pasti akan memberikan anugerah kepada setiap insan, jika kita mau
menyadarinya dengan jujur. Bisa saja seseorang yang kondisi fisiknya berbeda,
ia memiliki kemampuan lain yang luar biasa yang tidak dimiliki orang lain. Dengan
begitu, ayat ini mengajak kita untuk memaksimalkan potensi diri guna menebar
menfaat bagi diri sendiri maupun kepada sesama makhluk Allah.
5. Kemudian
kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Ada dua pendapat mengenai ayat ini, pertama adalah
kondisi kehidupan munusia. ini adalah siklus hidup manusia. Dari muda hingga
tua, sehat dan sakit, memiliki kesanggupan beribadah hingga tiada daya lagi
untuk melakukannya. Kedua, adalah ganjaran bagi mereka yang tidak
mengakui adanya Allah serta menjalankan perintahnya setelah Allah menciptakan
manusia dalam sebaik-baik bentuk hingga ia akan mendapat azab di neraka.
Manusia, dengan mengabaikan
akalnya, dan dengan kebodohannya tentang apa yang seharusnya ia lakukan demi
mencapai kebahagiaannya dan kebahgiaan semua manusia, akan menjadikan dirinya
lebih rendah dari semua makhluk hidup lainnya.[13]
Tiupan ruh Allah Yang Maha Tinggi berjalan di sekujur tubuh manusia, sehingga
menjadikannya sebagai wujud yang penting. Pembentukannya yang pertama terdapat
isyarat bahwa menusia dilahirkan dengan tauhid dan istiqamah. Kemudian
lingkungan mempengaruhinya, sehingga mungkin miring, mungkin bengkok dan
melupakan asalnya yang tinggi. Fitrah yang baik akan tetap ada pada orang-orang
yang menjaga kesalehan dan ketakwaan dan akan hilang jika iman kering.[14]
6. Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala
yang tiada putus-putusnya. Orang-orang yang beriman yang dimaksud adalah
para nabi dan para pengikut mereka, serta orang-orang—dari setiap umat—yang
beroleh hidayah Allah kepada agama yang benar. Sedangkan amal-amal saleh adalah
perbuatan-perbuatan tertentu yang telah diketahui secara meluas yang intinya
adalah keadilan dan kebajikan.[15]
Menurut Tafsir Ibnu Jarir. “Beriman dan
beramal saleh di waktu badan masih muda dan sehat” Ibnu Abbas mengatakan “asal
saja dia taat kepada Allah di masa-masa mudanya, meskipun dia telah tua
sehingga akalnya mulai tidak jalan lagi, namun buat dia masih tetap dituliskan
amal salehnya. Sebab dia adalah beriman.”[16] Mereka
yang menggunakan kemampuannya dengan benar mengikuti hukum Allah, mereka akan
mencapai tujuan yang tinggi dan mulia yang disediakan untuk mereka. Ganjaran
ini bukan hanya sementara, melainkan tak akan ada habisnya.[17] Oleh
karena itu, tampak jelaslah, nilai iman di dalam kehidupan manusia. Iman inilah
yang meningkatkan dan menyampaikan fitrah yang lurus untuk mencapai puncak
kesempurnaannya.[18]
Meskipun seseorang usianya semakin
lanjut, di saat fisik dan otaknya semakin menurun, sesungguhnya seseorang akan
tetap bisa mendapatkan kebahagiaan hidup dalam bentuk dan kualitas lain, yang
justru lebih tinggi. Orang yang beriman yakin bahwa iman dan amal saleh itulah
yang menjadi sayap dan petunjuk jalan melanjutkan episode kehidupan
berkualitas.[19]
7. Maka apakah yang menyebabkan kamu
mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Yang dimaksud
dengan agama atau al-dîn di sini, adalah ketulusan hati dalam menerima
kebenaran serta pelaksanaan amal-amal saleh; yang merupakan inti seruan Nabi
Saw.[20]
yakni mendustakan kesahihan hukum moral yang secara umum digariskan dalam tiga
ayat sebelumnya.[21] Kata al-dîn
menggambarkan hubungan antara dua pihak; pihak pertama kedudukannya lebih
tinggi dari pihak kedua. Dari sini kata ini mempunyai pengertian yang
berbeda-beda, antara lain pembalasan, agama, kataatan, dan lain-lain. Dalam
ayat ini kata tersebut lebih sesuai apabila diartikan pembalasan.[22]
8. Bukankah Allah hakim yang
seadil-adilnya? Meletakkan kebahagiaan atas dasar perbuatan baik, itulah hukum yang sangat
adil dan bijaksana.[23] Kata Allh
adalah sebaik-baik hakam yang semua ketetapan-Nya mengandung
hikmah – termasuk penciptaan manusia, maka tidak mungkin Dia mempersamakan antara
yang taat dan durhaka. Tidak mungki pula Dia membiarkan mereka tanpa balasan. Dari
sini ayat di atas mempertanyakan, masih adakah orang yang mengingkari adanya
hari Pembalasan setelah jelas semua ini? Kalau masih ada, siapa dia? Sungguh mengherankan![24]
Wallȃahu a’lam
[4] Al-‘Allāmah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani, Tafsir
Al-Munir Marāḥ Labîd Jilid 6 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2016), h. 796
[11] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Jilid 30 (Semarang:
Karya Toha Putra, 1993), h. 341
[14] Syiekh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik dalam Al-Qur’an (Jakarta:
Jaya Media Pratama, 2005), h. 660
[18] Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zhilalil Qur’an Jilid 12, h. 300