Selasa, 09 Juli 2019

Tafsir Surah at-Tin


Surat At-Tîn

Image result for surah at-tin
 
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun. Dan demi bukit Sinai. Dan demi kota (Mekah) Ini yang aman. Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?
_______

Pengantar:
Surah ini diwahyukan setelah Surah Al-Burûj (85) ini merumuskan suatu kebenaran moral yang fundamental, dengan menekankan fakta bahwa kebenaran itu merupakan hal yang umum bagi seluruh ajaran agama yang sejati.[1] Hakikat pokok yang dipaparkan surah ini adalah hakikat fitrah yang lurus yang Allah menciptakan manusia atas fitrah ini. Istiqamah tabiatnya bersama tabiat iman, serta jatuhnya manusia dan kerendahannya ketika menyimpangdari fitrah yang benar dan iman yang lurus.[2]

1.     Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun terdapat berbabagai pendapat mengenai ayat ini, Pertama, Tin dan Zaitun adalah buah tin dan buah zaitun yang dikenal. Buah tin dinilai dapat membersihkan kotoran dalam perut, ini mengindikasikan kekuasaan Penciptanya. Sedangkan zaitun memiliki berbagai macam manfaat yang luar biasa. Kedua, Tin adalah masjid Nuh as. Yang dibangun di atas gunung judi. Sedangkan zaitun adalah Baitul Maqdis. Ketiga, Tin adalah Masjid al-Haram, sedangkan zaitun adalah Masjid al-Aqsa. Keempat, Tin adalah masjid Damaskus, sedangkan zaitun adalah Baitul Maqdis. Kelima, keduanya adalah nama gunung. Keenam, tin adalah masjid ashabul kahfi, sedangkan zaitun adalah masjid liya’. Ketujuh, tin adalah gunung di antara Helwan dan Hamadzan, sedangkan zaitun adalah gunung di Syam.[3]
        Allah menyebutkan keduanya dalam sumpah-Nya, karena di dalamnya terkandung banyak maslahat dan manfaat. Sesungguhnya buah Tîn adalah buah yang baik yang tidak asing lagi, juga merupakan makanan yang lembut dan cepat dicerna. Buah Tîn dapat dijadikan sebagai obat berbagai penyakit, melembutkan watak, menggemukkan badan, dan membuka sumbatan hati dan limpa serta dapat menyembuhkan penyakit wasir. Sedangkan buah Zaitun dapat dijadikan lauk pauk.[4] Buah tin menunjukkan kemanisan, zaitun menunjukkan kemurnian. Thur menunjukkan kekokohan, dan kota yang aman menunjukkan keamanan.[5]
2.     Dan demi bukit Sinai, Memang ulama hampir tidak berbeda pendapat tentang arti ath-Thûr sebagai tempat Nabi Mûsȃ as. Menerima wahyu Ilahi. Kata ath-thûr dipahami oleh sementara ulama dalam arti gunung, di mana Nabi Mûsȃ as. Menerima wahyu Ilahi, yaitu yang berlokasi di Sinai, Mesir. Thȃhir Ibn ‘Ȃsyûr berpendapat bahwa firman-firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Mûsȃ itu populer dengan nama tempat ia turun yakni Thûr dan yang diucapkan dalam bahasa Arab dengan Taurat.[6]
3.     Dan demi kota (Mekah) Ini yang aman, Mekah al-Mukarramah yang telah dimuliakan Allah Swt. Dengan Ka’bah yang mulia, kelahiran Nabi Muhammad saw. dan pengutusan beliau di dalam kota tersebut.[7] Menyebutnnya sebagai kota yang aman, mengingat bahwa Dia telah mengharamkan perbuatan saling membunuh di dalamnya. Begitulah kota Makkah menjadi kota yang aman, tak seorang pun penghuninya akan merasa ketakutan di dalamnya.[8]
4.    Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Syaikh Muhammad ‘Abduh mengatakan dalam keaslian fitrahnya, manusia adalah makhluk yang jauh dari egoisme, dengan hati yang peka dalam berkasih sayang, maka ia pun hidup penuh kebahagiaan. Maksudnya adalah bahwa Allah swt. telah menciptakan manusia dengan potensi yang sangat luar biasa maksimal sehingga dengan potensi tersebut (fisik, mental dan spiritual) manusia mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Salman Harun mengatakan dari segi fisik, hanya menusia yang memiliki bentuk tubuh dan paras yang paling cantik. Kemudian dari segi mental, hanya manusia yang memiliki pikiran dan perasaan yang sempurna. Pikiran (akal) dan perasaan (hati) itu menyalakan akal budi sehingga berkembang. Hasilnya: hanya manusia yang memiliki peradaban dan kebudayaan. Kemudian dari segi spiritual, hanya manusia yang beragama. Hanya manusia yang dapat menagasah iman dan takwanya segingga mengantarnya kederajat yang setinggi-tingginya.[9]
       Menurut Hamka, maka dengan keseimbangan tubuh dan pedoman akal, dapatlah dia hidup di muka bumi sebagai pengatur.[10] Tetapi manusia itu memang pelupa. Ia tidak menyadari keistimewaan yang dimilikinya. Bahkan ia menyangka seolah-olah dirinya tak ubah seperti makhluk lain. Akibatnya ia malang melintang dalam berbagai perbuatan yang bertentangan dengan akal sehat dan fitrah kejadiannya.[11]
      Sungguh Allah swt. Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling bagus, perawakan yang paling indah, dan rupa yang enak dipandang. Anggota-anggota tubuhnya selaras, bentuknya serasi dan perawakannya seimbang.[12] Kemudian Allah swt. pasti akan memberikan anugerah kepada setiap insan, jika kita mau menyadarinya dengan jujur. Bisa saja seseorang yang kondisi fisiknya berbeda, ia memiliki kemampuan lain yang luar biasa yang tidak dimiliki orang lain. Dengan begitu, ayat ini mengajak kita untuk memaksimalkan potensi diri guna menebar menfaat bagi diri sendiri maupun kepada sesama makhluk Allah.
5.    Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Ada dua pendapat mengenai ayat ini, pertama adalah kondisi kehidupan munusia. ini adalah siklus hidup manusia. Dari muda hingga tua, sehat dan sakit, memiliki kesanggupan beribadah hingga tiada daya lagi untuk melakukannya. Kedua, adalah ganjaran bagi mereka yang tidak mengakui adanya Allah serta menjalankan perintahnya setelah Allah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk hingga ia akan mendapat azab di neraka.
       Manusia, dengan mengabaikan akalnya, dan dengan kebodohannya tentang apa yang seharusnya ia lakukan demi mencapai kebahagiaannya dan kebahgiaan semua manusia, akan menjadikan dirinya lebih rendah dari semua makhluk hidup lainnya.[13] Tiupan ruh Allah Yang Maha Tinggi berjalan di sekujur tubuh manusia, sehingga menjadikannya sebagai wujud yang penting. Pembentukannya yang pertama terdapat isyarat bahwa menusia dilahirkan dengan tauhid dan istiqamah. Kemudian lingkungan mempengaruhinya, sehingga mungkin miring, mungkin bengkok dan melupakan asalnya yang tinggi. Fitrah yang baik akan tetap ada pada orang-orang yang menjaga kesalehan dan ketakwaan dan akan hilang jika iman kering.[14]
6.    Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Orang-orang yang beriman yang dimaksud adalah para nabi dan para pengikut mereka, serta orang-orang—dari setiap umat—yang beroleh hidayah Allah kepada agama yang benar. Sedangkan amal-amal saleh adalah perbuatan-perbuatan tertentu yang telah diketahui secara meluas yang intinya adalah keadilan dan kebajikan.[15]
       Menurut Tafsir Ibnu Jarir. “Beriman dan beramal saleh di waktu badan masih muda dan sehat” Ibnu Abbas mengatakan “asal saja dia taat kepada Allah di masa-masa mudanya, meskipun dia telah tua sehingga akalnya mulai tidak jalan lagi, namun buat dia masih tetap dituliskan amal salehnya. Sebab dia adalah beriman.”[16] Mereka yang menggunakan kemampuannya dengan benar mengikuti hukum Allah, mereka akan mencapai tujuan yang tinggi dan mulia yang disediakan untuk mereka. Ganjaran ini bukan hanya sementara, melainkan tak akan ada habisnya.[17] Oleh karena itu, tampak jelaslah, nilai iman di dalam kehidupan manusia. Iman inilah yang meningkatkan dan menyampaikan fitrah yang lurus untuk mencapai puncak kesempurnaannya.[18]
       Meskipun seseorang usianya semakin lanjut, di saat fisik dan otaknya semakin menurun, sesungguhnya seseorang akan tetap bisa mendapatkan kebahagiaan hidup dalam bentuk dan kualitas lain, yang justru lebih tinggi. Orang yang beriman yakin bahwa iman dan amal saleh itulah yang menjadi sayap dan petunjuk jalan melanjutkan episode kehidupan berkualitas.[19]
7.     Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Yang dimaksud dengan agama atau al-dîn di sini, adalah ketulusan hati dalam menerima kebenaran serta pelaksanaan amal-amal saleh; yang merupakan inti seruan Nabi Saw.[20] yakni mendustakan kesahihan hukum moral yang secara umum digariskan dalam tiga ayat sebelumnya.[21] Kata al-dîn menggambarkan hubungan antara dua pihak; pihak pertama kedudukannya lebih tinggi dari pihak kedua. Dari sini kata ini mempunyai pengertian yang berbeda-beda, antara lain pembalasan, agama, kataatan, dan lain-lain. Dalam ayat ini kata tersebut lebih sesuai apabila diartikan pembalasan.[22]
8.     Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya? Meletakkan kebahagiaan atas dasar perbuatan baik, itulah hukum yang sangat adil dan bijaksana.[23] Kata Allh adalah sebaik-baik hakam yang semua ketetapan-Nya mengandung hikmah – termasuk penciptaan manusia, maka tidak mungkin Dia mempersamakan antara yang taat dan durhaka. Tidak mungki pula Dia membiarkan mereka tanpa balasan. Dari sini ayat di atas mempertanyakan, masih adakah orang yang mengingkari adanya hari Pembalasan setelah jelas semua ini? Kalau masih ada, siapa dia? Sungguh mengherankan![24]

Wallȃahu a’lam


[1] Muhammad Asad, The Message of the Quran Jilid 3 (Bandung: Mizan, 2017), h. 1249
[2] Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zhilalil Qur’an Jilid 12 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001). h. 298
[3] Ibnul Jauzi, Tafsir Ibnul Jaui Juz ’Amma (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), h. 298
[4] Al-‘Allāmah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani, Tafsir Al-Munir Marāḥ Labîd Jilid 6 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2016), h. 796
[5] Syaikh Adil Muhammad Khalil, Tadabur Al-Qur’an (Jakart: Pustaka Al-Kautsar, 2018), h. 407
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 15 (Ciputat: Lentera Hati, 2007), h. 376
[7] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 15 (Jakarta: Gema Insani  Press, 2014), h. 588
[8] Syaikh Muhammad ‘Abduh, Rahasia Juz ‘Amma (Bandung: Karisma, 2007), h. 240
[9] Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz Terakhir (Ciputat: Lentera Hati, 2017), h.242
[10] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), h. 248
[11] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Jilid 30 (Semarang: Karya Toha Putra, 1993), h. 341
[12] ‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar Jilid 4 (Jakarta: Qisthi Press, 2008), h. 630
[13] Syaikh Muhammad ‘Abduh, Rahasia Juz ‘Amma, h. 244
[14] Syiekh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik dalam Al-Qur’an (Jakarta: Jaya Media Pratama, 2005), h. 660
[15] Ibid, h. 245
[16] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz ‘Amma, h. 249
[17] Muhammad Chirzin, Tafsir Al-Fatihah dan Juz ‘Amma (Jakarta: Kalil, t.th), h. 75
[18] Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zhilalil Qur’an Jilid 12, h. 300
[19] Komaruddin Hidayat, Life’s Journey (Jakarta: Noura Books, 2013), h. 150
[20] Syaikh Muhammad ‘Abduh, Op.Cit
[21] Muhammad Asad, The Message of the Quran Jilid 3, h. 1250
[22] M. Quraish Shihab, h. 386
[23] Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz Terakhir, h. 243
[24] M. Quraish Shihab, h. 388