Sabtu, 02 Desember 2017

Surat At-Takasur (102)



Surat At-Takasur (102)

Teks Bacaan Surat At Takatsur Arab Latin dan Terjemahannya

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).

_______

Asbabun Nuzul:

Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini ( QS At-Takatsur 1-2) turun berkenaan dengan dua kabilah Anshor, Bani Haritsyah dan Bani Harts yang saling menyobongkan diri dengan kekayaanya dan keturunannya dengan dengan saling bertanya: Apakah kalian  mempunyai pahlawan segagah dan seccekatan si Anu? Mereka menyombongkan diri pula dengan kedudukan dan kekayaan orang-orang yang masih hidup. Mereka mengajak pula pergi ke kubur untuk menyombongkan kepahlawanan dari golongannya yang sudah gugur, dengan meunjukkan kuburannya . Ayat ini (QS At-Takatsur 1-2) turun sebagai teguran kepada orang-orang yang hidup bermegah-megahan sehingga melalaikan ibadahnya kepada Allah swt. " Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Buraidah"



1.     Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sesungguhnya melalui ayat ini, Allah ingin mengatakan bahwa manusia telah lalai karena bermegah-megahan. Dalam tafsir Jalalain disebutkan kelalaian itu adalah lalai dari taat kepada Allah sedangkan bermegah-megahan yaitu saling bangga-membanggakan harta, anak-anak dan pembantu-pembantu.

       Allah Ta’ala mencela hamba-hamba-Nya yang disibukkan dengan urusan dunia, sehingga lalai dari tujuan penciptaan mereka. Yakni untuk beribadah kepada-Nya semata, tidak ada sekutu baginya, untuk mengenal-Nya dan berinabah (kembali) kepada-Nya serta mengutamakan kecintaan kepada-Nya di atas segalanya.  

       Firman Allah Ta’ala أَلْهَاكُمُtelah melalaikan kamu”, dari hal-hal tersebut di atas, التَّكَاثُرُ“bermegah-megahan.” Ayat ini tidak menyebutkan secara detail tentang bentuk bermegah-megahannya. Hal ini berarti mencakup segala bentuk kemegahan dan kesombongan yang dilakukan manusia, baik berupa harta, anak-anak, pengikut, bala tentara, pembantu, jabatan, dan bentuk kemegahan lainnya yang ditujukan untuk pamer, tidak ditujukan untuk mencari keridhaan Allah.[1]

       “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” saling berbangga dengan banyaknya harta dan anak-anak telah melenakan kalian dari ketaatan kepada Allah. Yakni bermegah-megahan dalam soal banyak anak, harta, pengikut, kemulian, dan sebagainya, telah melalaikan kalian dari ketaatan kepada Allah.[2]

       Bermegah-megahan telah melalaikan kamu dari ketaatan kepada Allah. Keserakahan, yakni kecintaan mengejar bertambahnya kekayaan, kedudukan, jumlah penganut, sedemikian rupa mempengaruhi orang atau mungkin mempengaruhi seluruh masyarakat dan bangsa.[3]

       Allah Ta’ala berfirman, bermegah-megahan dan berbangga-banggakan karena banyaknya harta dan tarik-menariknya kalian dalam urusan tersebut telah melalaikan kamu dari ketaatan kepada Allah.[4] Telah lengah kamu dari memerhatikan hidupmu yang akan mati, dan kamu telah lupa perhubunganmu dengan Allah pencipta seluruh alam dan pencipta dirimu sendiri.[5]

       Kata أَلْهَاكُمُ alhakum/telah melengahkan kamu terambil dari kata-kata (لهى- يلهى) lahâ-yalhâ yakni menyibukkan diri dengan sesuatu, sehingga mengabaikan yang lain yang biasanya lebih penting. Kata أَلْهَاكُمُ artinya adalah melalaikan kalian dari menaati Allah swt.

       Kataالتَّكَاثُرُ at-takâtsur terambil dari kata (كثرة)  kasrah/banyak. Kata التَّكَاثُرُ at-takâtsur  menurut Adh-Dhahhak ialah disibukkan dengan pekerjaan dan bisnis.[6]

       Patron at-takâtsur menunjukkan adanya dua pihak atau lebih yang bersaing, semua berusaha memperbanyak, seakan-akan sama-sama mengaku memiliki lebih banyak dari pihak lain atau saingannya. Tujuannya adalah berbangga dengan kepemilikannya. Dari sini, kata tersebut digunakan juga dalam arti saling berbangga-bangga.  At-takâtsur adalah persaingan antara dua pihak atau lebih dalam hal memperbanyak hiasan dan gemerlapan duniawi, serta usaha untuk memilikinya sebanyak mungkin tanpa menghiraukan norma dan nilai agama.[7]

       Wahai orang-orang yang tertidur dan terlena! Wahai orang-orang yang lalai dan bermegah-megahan dengan harta, anak-anak, dan kekayaan duniawi yang akan kamu tinggalkan! Wahai orang-orang yang tertipu oleh sesuatu sehingga melalaikan apa yang bakal dihadapi nanti! Wahai orang-orang yang akan meninggalkan apa yang dikumpulkannya banyak-banyak dan dibangga-banggakannya untuk menuju lubang yang sangat sempit yang di sana tidak ada lagi berbanyak-banyakan harta dan bermegah-megahan kekayaan dan segala hak milik! Sadarlah dan perhatikanlah! Sesungguhnya “kamu telah dilalaikan oleh sikap bermegah-megahan[8]

       Kalian disibukkan oleh berbangga-bangga dengan harta, keturunan, dan kawan. Sibuk dengan memperbanyak dan mencari hal itu akan memalingkan kalian dari beribadah kepada Allah dan beramal untuk akhirat, hingga maut menjemput kalian dalam keadaan tersebut.[9] Kalian terlalu bermegah-megahan dengan harta dan anak, menumpuk hal-hal yang pasti binasa, dan melalaikan hal-hal yang akan kekal. Sehingga, kalian pun lalai dengan akhirat hanya karena dunia.[10]

       Kita cenderung lupa diri kalau sudah bergelimang kemewahan dan tidak akan pernah merasa kenyang. Ambisi tersebut baru akan berhenti jika kematian telah menjemput. Ajaran Islam tidak melarang hidup bergelimang dengan kemegahan. Bahkan, kita diperintahkan untuk bekerja keras mencari harta, ilmu, pengaruh, juga kedudukan. Jangan lupa semua usaha ini harus diniatkan dalam rangka mencari rido Allah swt, dan sesuai dengan koridor nilai-nilai kebenaran.[11]

2. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Ada dua pendapat tentang pengertian ayat ini. Pertama, sampai kalian dijemput oleh kematian dalam kondisi ini (ayat 1). Kedua, maksudnya adalah sampai kalian berkunjung ke kubur.[12]  Sehebat apa pun diri kita, sebanyak apa pun harta dan pengikut kita, setinggi apa pun ilmu dan kedudukan kita, tetap saja akan berujung pada kematian. Alangkah rugi kalau hidup yang hanya satu kali ini kita gunakan hanya untuk kenikmatan sesaat. Kita halalkan segala cara untuk secuil kemegahan yang semu.[13]

       Kalian terus-menerus dalam kelalaian dan bersenda gurau, serta sibuk dengan urusan duniawi. “sampai kamu masuk (berkunjung) ke dalam kubur”. Maka, ketika itulah pintu (kubur) dibuka untukmu. Akan tetapi, setelah itu permohonan ampun sudah tidak diterima lagi. Ayat ini menunjukkan bahwa alam barzakh merupakan tempat persinggahan sementara untuk kemudian menuju ke negeri akhirat. Karena, Allah menyebut mereka dengan orang-orang yang berkunjung, bukan orang-orang yang bertempat tinggal. Ayat ini juga menunjukkan adanya hari kebangkitan dan hari pembalasan amal di negeri yang kekal yang tak pernah binasa.[14]

       Ironisnya, kesibukanmu terhadap urusan duniawi itu berlangsung terus-menerus sampai kamu mati dan masuk kuburan. Akibatnya, kalian pun terbuai dalam kelalaian hingga kalian mengabaikan amal-amal yang bisa menjadi bekal untuk menghadapi kehidupan akhirat.[15] Dan kamu tidak insaf  bahwa apabila kamu masuk ke dalam kubur, kamu tidak akan balik lagi ke dunia ini. Maka terbuang percuma umurmu yang telah habis mengumpulkan harta, mencari pangkat, pengaruh, dan kedudukan.[16] Sampai tiba waktunya kamu harus berbaring dalam kuburan dan meninggalkan kemegahan dan segala kekayaan herta benda yang hampa ini.[17]

       Manusia sudah diciptakan dengan bawaan suka bersaing dalam hal kuantitatif hingga dia meninggal dunia. Dengan kata lain, kalian semua lalai karena bersaing dalam hal jumlah kepada orang orang lain hingga kalian mati.[18] Hingga kalian mati dan menjadi penghuni kuburan. Dengan demikian, kalian telah menyia-nyiakan umur untuk berbagai hal yang tak ada gunanya bagi kehidupan di akhirat kelak. Pada dasarnya ziarah kubur itu adalah obat yang paling manjur bagi orang yang berhati keras. Sebab, ziarah kubur akan mengingatkan kematian dan kehidupan akhirat. Dengan demikian, ambisi keduniaan akan dapat terkendali, selain akan membangkitkan sikap zuhud dan menjauhi kepentingan duniawi semata.[19]

       Adapun hukum ziarah kubur adalah mubah dengan etika-etika yang sesuai dengan syari’at. Seorang penziarah memulai dengan mengucapkan salam kepada ahli kubur pada posisi kepada si mayit. Kemudian dia menghadap ke kiblat dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar Dia memberikan rahmat dan ampunan kepada si mayit, dirinya sendiri dan kaum muslimin secara keseluruhan.[20]

3-4. janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Kataž كَلا. pada kedua ayat di atas memiliki paling tidak dua pengertian. Pertama, ancaman. Kata žكَلا. diartikan ancaman maka makna ayat di atas adalah “Hati-hatilah! Kelak kalian akan tahu akibat hidup bermegahan yang tanpa kendali agama itu akan merugikan kalian!”. Kedua, kata žكَلا. diartikan sebagai menafikan atau meniadakan, makna kedua ayat di atas adalah “Tidak! Sungguh bukan banyaknya harta, ilmu dan kedudukan yang akan menyelamatkan, kelak kalian tahu bahwa keimanan dan ketakwaan yang akan menyelamatkanmu!”[21]

       Kesan ini diulangi lagi dengan lafal-lafal yang sama, dengan bunyi yang menakutkan dan mantap. Kemudian penegasan itu semakin diperdalam dan menakutkan, sekaligus diisyaratkan sesuatu yang ada di belakangnya yang berupa perkara yang berat. Perkara yang mereka ketahui dengan jelas hakikatnya yang besar ketika mereka tenggelam dalam kemabukan dan bermegah-megahan.[22]

       Menurut Az-Zajjaj redaksi ž. merupakan kata larangan dan peringatan. Artinya adalah, seharusnya engkau tidak bermegah-megahan. Makna ayat ini adalah seandainya kalian mengetahui masalah ini dengan seyakin-yakinnya niscaya kalian tidak akan bermegah-megahan dan sombong.[23]

       Kalau demikian, persaingan memperebutkan kemegahan duniawi begitu pula memperbanyak anak dan pengikut, tidak akan membawa kebahagiaan dan kepuasan bagi setiap yang terlibat serta tidak mengantar kepada hakikat dan tujuan kehidupan itu sendiri. Kalau kepastian di atas tidak ditemukan atau dialami dalam kenyataan hidup duniawi, maka akan terbukti kebenarannya dalam kehidupan ukhrawi.[24]

       Tidak seharusnya kalian meyibukkan diri demi sesuatu yang bersifat sementara dan melalaikan sesuatu yang bersifat kekal dan abadi. Kalian kelak akan mengetahui bahwasanya akhirat itu lebih baik dan lebih kekal daripada duniamu yang melalaikanmu itu. Dan kelak akan tampak jelas keburukan pilihanmu untuk mengutamakan dunia daripada akhirat dan mendahulukan hal-hal yang menyibukkanmu dari ketaatan kepada Allah.[25] Hakikat tanggung jawab kehidupan yang sebenarnya kemudian akan tampak di hadapanmu. Untuk itu, mengapa tidak mencoba berusaha memahami sedikit saja hakikat tanggung jawab itu selama masih di dunia?[26]

       Jika kamu mengetahui apa yang ada di hadapan kalian dengan pengetahuan yang berpangkal dari hati, niscaya kamu tidak akan dilalaikan dengan kemewahan (dunia) dan akan bergegas untuk melakukan amal shalih. Namun, tiadanya pengetahuan yang benar telah menjadikan kalian seperti yang kalian lihat ini.[27]

       Bahwa segala perbuatanmu mengumpulkan dan bermegah-megah dengan harta dunia fana itu percuma belaka. Di akhirat semuanya itu tidaklah menolong. Akan kamu ketahui sendiri bahwa perbuatanmu yang seperti itu tidak ada faedahnya sama sekali. Banyak hartamu tidaklah akan menolong. Banyak anak dan cucu tidaklah membela.[28]


bersambung...

[1] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: Al-Qowam, 2016), h. 170

[2] Hikmat Basyir, Hazim Haidar, Musthafa Muslim, Abdul Aziz Isma’il, Tafsir Muyassar Jilid 2 (Jakarta: Darul Haq, 2016), h. 951

[3] Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar, 2016), h. 882

[4] Syaikh ‘Abdullah al-Khayyath, Tafsir Juz ‘Amma diterjemahkan oleh Herman Susilo (Jakarta: Griya Ilmu, 2016), h. 174

[5] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 281

[6] Ibnu Jauzi, Tafsir Juz ‘Amma (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), h. 376

[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 15 (Jakarta: Lentera Hari, 2002), h. 487

[8] Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an JIlid 12 (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 332

[9] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 15 (Jakarta: Gama Insani Press, 2014), h. 655

[10] ‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar Jilid 4 (Jakarta: Qisthi Press, 2008), h. 653

[11] Aam Amiruddin, Tafsir Al-Qur’an Kontemporer(Bandung: Shofiemedia, 2007), h. 171

[12] Ibnu Jauzi, Op.Cit., h. 379

[13] Ibid, h. 172

[14] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Op. Cit., h. 170

[15] ‘Aidh al-Qarni, Op.Cit.

[16] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 282

[17] Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar, 2016), h. 882

[18] Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Tafsir Juz ‘Amma (Bekasi: Darul Falah, 2016), h. 443

[19] Muhammad Chirzin, Tafsir Al-Fatihah dan Juz ‘Amma (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, t.t), h. 46

[20] Wahbah az-Zuhaili, Op.Cit.

[21] Aam Amiruddin, Tafsir Al-Qur’an Kontemporer (Bandung: Shofiemedia, 2007), h. 173

[22] Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an JIlid 12 (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 333

[23] Ibnu Jauzi, Op.Cit., h. 380

[24] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 15 (Jakarta: Lentera Hari, 2002), h. 489

[25] ‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar Jilid 4 (Jakarta: Qisthi Press, 2008), h. 654

[26] Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar, 2016), h. 883

[27] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Op. Cit., h. 171


[28] HAMKA, Op.Cit