Surat At-Takasur (102)
“Bermegah-megahan
telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. janganlah begitu,
kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu,
kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan
pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Kemudian
kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu
megah-megahkan di dunia itu).”
_______
Asbabun Nuzul:
Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini ( QS At-Takatsur 1-2) turun
berkenaan dengan dua kabilah Anshor, Bani Haritsyah dan Bani Harts yang saling
menyobongkan diri dengan kekayaanya dan keturunannya dengan dengan saling
bertanya: Apakah kalian mempunyai pahlawan segagah dan seccekatan si Anu?
Mereka
menyombongkan diri pula dengan kedudukan dan kekayaan orang-orang yang masih
hidup. Mereka mengajak pula pergi ke kubur untuk menyombongkan kepahlawanan
dari golongannya yang sudah gugur, dengan meunjukkan kuburannya . Ayat ini (QS
At-Takatsur 1-2) turun sebagai teguran kepada orang-orang yang hidup
bermegah-megahan sehingga melalaikan ibadahnya kepada Allah swt. " Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Buraidah"
1.
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sesungguhnya melalui ayat ini, Allah ingin mengatakan bahwa
manusia telah lalai karena bermegah-megahan. Dalam tafsir Jalalain disebutkan
kelalaian itu adalah lalai dari taat kepada
Allah sedangkan bermegah-megahan yaitu saling bangga-membanggakan harta,
anak-anak dan pembantu-pembantu.
Allah Ta’ala mencela hamba-hamba-Nya
yang disibukkan dengan urusan dunia, sehingga lalai dari tujuan penciptaan mereka.
Yakni untuk beribadah kepada-Nya semata, tidak ada sekutu baginya, untuk
mengenal-Nya dan berinabah (kembali) kepada-Nya serta mengutamakan
kecintaan kepada-Nya di atas segalanya.
Firman Allah Ta’ala أَلْهَاكُمُ “telah melalaikan kamu”, dari hal-hal tersebut di atas, التَّكَاثُرُ“bermegah-megahan.” Ayat ini tidak menyebutkan secara
detail tentang bentuk bermegah-megahannya. Hal ini berarti mencakup segala
bentuk kemegahan dan kesombongan yang dilakukan manusia, baik berupa harta, anak-anak,
pengikut, bala tentara, pembantu, jabatan, dan bentuk kemegahan lainnya yang
ditujukan untuk pamer, tidak ditujukan untuk mencari keridhaan Allah.[1]
“Bermegah-megahan telah melalaikan
kamu” saling berbangga dengan banyaknya harta dan anak-anak telah melenakan
kalian dari ketaatan kepada Allah. Yakni bermegah-megahan dalam soal banyak
anak, harta, pengikut, kemulian, dan sebagainya, telah melalaikan kalian dari
ketaatan kepada Allah.[2]
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu
dari ketaatan kepada Allah. Keserakahan, yakni kecintaan mengejar bertambahnya
kekayaan, kedudukan, jumlah penganut, sedemikian rupa mempengaruhi orang atau
mungkin mempengaruhi seluruh masyarakat dan bangsa.[3]
Allah Ta’ala berfirman,
bermegah-megahan dan berbangga-banggakan karena banyaknya harta dan
tarik-menariknya kalian dalam urusan tersebut telah melalaikan kamu dari
ketaatan kepada Allah.[4] Telah lengah kamu dari memerhatikan hidupmu yang akan mati, dan
kamu telah lupa perhubunganmu dengan Allah pencipta seluruh alam dan pencipta
dirimu sendiri.[5]
Kata أَلْهَاكُمُ alhakum/telah
melengahkan kamu terambil
dari kata-kata (لهى-
يلهى) lahâ-yalhâ
yakni menyibukkan diri dengan sesuatu, sehingga mengabaikan yang lain yang
biasanya lebih penting. Kata أَلْهَاكُمُ artinya adalah melalaikan kalian dari menaati Allah swt.
Kataالتَّكَاثُرُ at-takâtsur terambil dari kata (كثرة) kasrah/banyak. Kata التَّكَاثُرُ at-takâtsur menurut
Adh-Dhahhak ialah disibukkan dengan pekerjaan dan bisnis.[6]
Patron at-takâtsur
menunjukkan adanya dua pihak atau lebih yang bersaing, semua berusaha
memperbanyak, seakan-akan sama-sama mengaku memiliki lebih banyak dari pihak
lain atau saingannya. Tujuannya adalah berbangga dengan kepemilikannya. Dari
sini, kata tersebut digunakan juga dalam arti saling berbangga-bangga. At-takâtsur adalah persaingan antara
dua pihak atau lebih dalam hal memperbanyak hiasan dan gemerlapan duniawi,
serta usaha untuk memilikinya sebanyak mungkin tanpa menghiraukan norma dan
nilai agama.[7]
Wahai orang-orang yang
tertidur dan terlena! Wahai orang-orang yang lalai dan bermegah-megahan dengan
harta, anak-anak, dan kekayaan duniawi yang akan kamu tinggalkan! Wahai
orang-orang yang tertipu oleh sesuatu sehingga melalaikan apa yang bakal dihadapi
nanti! Wahai orang-orang yang akan meninggalkan apa yang dikumpulkannya
banyak-banyak dan dibangga-banggakannya untuk menuju lubang yang sangat sempit
yang di sana tidak ada lagi berbanyak-banyakan harta dan bermegah-megahan
kekayaan dan segala hak milik! Sadarlah dan perhatikanlah! Sesungguhnya “kamu
telah dilalaikan oleh sikap bermegah-megahan”[8]
Kalian disibukkan oleh
berbangga-bangga dengan harta, keturunan, dan kawan. Sibuk dengan memperbanyak
dan mencari hal itu akan memalingkan kalian dari beribadah kepada Allah dan
beramal untuk akhirat, hingga maut menjemput kalian dalam keadaan tersebut.[9]
Kalian terlalu bermegah-megahan dengan harta dan anak, menumpuk hal-hal yang
pasti binasa, dan melalaikan hal-hal yang akan kekal. Sehingga, kalian pun
lalai dengan akhirat hanya karena dunia.[10]
Kita cenderung lupa diri kalau
sudah bergelimang kemewahan dan tidak akan pernah merasa kenyang. Ambisi
tersebut baru akan berhenti jika kematian telah menjemput. Ajaran Islam tidak
melarang hidup bergelimang dengan kemegahan. Bahkan, kita diperintahkan untuk
bekerja keras mencari harta, ilmu, pengaruh, juga kedudukan. Jangan lupa semua
usaha ini harus diniatkan dalam rangka mencari rido Allah swt, dan sesuai
dengan koridor nilai-nilai kebenaran.[11]
2. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Ada dua pendapat tentang pengertian ayat ini. Pertama,
sampai kalian dijemput oleh kematian dalam kondisi ini (ayat 1). Kedua,
maksudnya adalah sampai kalian berkunjung ke kubur.[12] Sehebat apa pun diri kita, sebanyak apa pun
harta dan pengikut kita, setinggi apa pun ilmu dan kedudukan kita, tetap saja
akan berujung pada kematian. Alangkah rugi kalau hidup yang hanya satu kali ini
kita gunakan hanya untuk kenikmatan sesaat. Kita halalkan segala cara untuk
secuil kemegahan yang semu.[13]
Kalian terus-menerus dalam
kelalaian dan bersenda gurau, serta sibuk dengan urusan duniawi. “sampai kamu masuk (berkunjung) ke dalam kubur”. Maka, ketika itulah pintu (kubur) dibuka untukmu. Akan tetapi, setelah itu
permohonan ampun sudah tidak diterima lagi. Ayat ini menunjukkan bahwa alam
barzakh merupakan tempat persinggahan sementara untuk kemudian menuju ke negeri
akhirat. Karena, Allah menyebut mereka dengan orang-orang yang berkunjung,
bukan orang-orang yang bertempat tinggal. Ayat ini juga menunjukkan adanya hari
kebangkitan dan hari pembalasan amal di negeri yang kekal yang tak pernah
binasa.[14]
Ironisnya, kesibukanmu
terhadap urusan duniawi itu berlangsung terus-menerus sampai kamu mati dan
masuk kuburan. Akibatnya, kalian pun terbuai dalam kelalaian hingga kalian
mengabaikan amal-amal yang bisa menjadi bekal untuk menghadapi kehidupan
akhirat.[15]
Dan kamu tidak insaf bahwa apabila kamu
masuk ke dalam kubur, kamu tidak akan balik lagi ke dunia ini. Maka terbuang
percuma umurmu yang telah habis mengumpulkan harta, mencari pangkat, pengaruh,
dan kedudukan.[16]
Sampai tiba waktunya kamu harus berbaring dalam kuburan dan meninggalkan
kemegahan dan segala kekayaan herta benda yang hampa ini.[17]
Manusia sudah diciptakan dengan bawaan suka
bersaing dalam hal kuantitatif hingga dia meninggal dunia. Dengan kata lain,
kalian semua lalai karena bersaing dalam hal jumlah kepada orang orang lain
hingga kalian mati.[18] Hingga
kalian mati dan menjadi penghuni kuburan. Dengan demikian, kalian telah
menyia-nyiakan umur untuk berbagai hal yang tak ada gunanya bagi kehidupan di
akhirat kelak. Pada dasarnya ziarah kubur itu adalah obat yang paling manjur
bagi orang yang berhati keras. Sebab, ziarah kubur akan mengingatkan kematian
dan kehidupan akhirat. Dengan demikian, ambisi keduniaan akan dapat terkendali,
selain akan membangkitkan sikap zuhud dan menjauhi kepentingan duniawi semata.[19]
Adapun hukum ziarah kubur adalah mubah
dengan etika-etika yang sesuai dengan syari’at. Seorang penziarah memulai
dengan mengucapkan salam kepada ahli kubur pada posisi kepada si mayit.
Kemudian dia menghadap ke kiblat dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar Dia
memberikan rahmat dan ampunan kepada si mayit, dirinya sendiri dan kaum
muslimin secara keseluruhan.[20]
3-4. janganlah begitu,
kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu,
kelak kamu akan mengetahui. Kata كَلا. pada kedua ayat di atas memiliki paling tidak dua
pengertian. Pertama, ancaman. Kata كَلا. diartikan ancaman maka makna ayat di atas adalah “Hati-hatilah!
Kelak kalian akan tahu akibat hidup bermegahan yang tanpa kendali agama itu
akan merugikan kalian!”. Kedua, kata كَلا. diartikan sebagai menafikan atau meniadakan, makna kedua
ayat di atas adalah “Tidak! Sungguh bukan banyaknya harta, ilmu dan kedudukan
yang akan menyelamatkan, kelak kalian tahu bahwa keimanan dan ketakwaan yang
akan menyelamatkanmu!”[21]
Kesan
ini diulangi lagi dengan lafal-lafal yang sama, dengan bunyi yang menakutkan
dan mantap. Kemudian penegasan itu semakin diperdalam dan menakutkan, sekaligus
diisyaratkan sesuatu yang ada di belakangnya yang berupa perkara yang berat. Perkara
yang mereka ketahui dengan jelas hakikatnya yang besar ketika mereka tenggelam
dalam kemabukan dan bermegah-megahan.[22]
Menurut
Az-Zajjaj redaksi . merupakan kata larangan dan peringatan. Artinya adalah,
seharusnya engkau tidak bermegah-megahan. Makna ayat ini adalah seandainya
kalian mengetahui masalah ini dengan seyakin-yakinnya niscaya kalian tidak akan
bermegah-megahan dan sombong.[23]
Kalau
demikian, persaingan memperebutkan kemegahan duniawi begitu pula memperbanyak
anak dan pengikut, tidak akan membawa kebahagiaan dan kepuasan bagi setiap yang
terlibat serta tidak mengantar kepada hakikat dan tujuan kehidupan itu sendiri.
Kalau kepastian di atas tidak ditemukan atau dialami dalam kenyataan hidup
duniawi, maka akan terbukti kebenarannya dalam kehidupan ukhrawi.[24]
Tidak
seharusnya kalian meyibukkan diri demi sesuatu yang bersifat sementara dan
melalaikan sesuatu yang bersifat kekal dan abadi. Kalian kelak akan mengetahui
bahwasanya akhirat itu lebih baik dan lebih kekal daripada duniamu yang
melalaikanmu itu. Dan kelak akan tampak jelas keburukan pilihanmu untuk
mengutamakan dunia daripada akhirat dan mendahulukan hal-hal yang menyibukkanmu
dari ketaatan kepada Allah.[25] Hakikat
tanggung jawab kehidupan yang sebenarnya kemudian akan tampak di hadapanmu. Untuk
itu, mengapa tidak mencoba berusaha memahami sedikit saja hakikat tanggung
jawab itu selama masih di dunia?[26]
Jika
kamu mengetahui apa yang ada di hadapan kalian dengan pengetahuan yang
berpangkal dari hati, niscaya kamu tidak akan dilalaikan dengan kemewahan
(dunia) dan akan bergegas untuk melakukan amal shalih. Namun, tiadanya pengetahuan
yang benar telah menjadikan kalian seperti yang kalian lihat ini.[27]
Bahwa
segala perbuatanmu mengumpulkan dan bermegah-megah dengan harta dunia fana itu
percuma belaka. Di akhirat semuanya itu tidaklah menolong. Akan kamu ketahui
sendiri bahwa perbuatanmu yang seperti itu tidak ada faedahnya sama sekali. Banyak
hartamu tidaklah akan menolong. Banyak anak dan cucu tidaklah membela.[28]
bersambung...
[1] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo:
Al-Qowam, 2016), h. 170
[2] Hikmat Basyir, Hazim Haidar, Musthafa Muslim, Abdul Aziz Isma’il, Tafsir
Muyassar Jilid 2 (Jakarta: Darul Haq, 2016), h. 951
[3] Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar,
2016), h. 882
[4] Syaikh ‘Abdullah al-Khayyath, Tafsir Juz ‘Amma diterjemahkan
oleh Herman Susilo (Jakarta: Griya Ilmu, 2016), h. 174
[5] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani,
2015), h. 281
[6] Ibnu Jauzi, Tafsir Juz ‘Amma (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2014), h. 376
[7] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 15
(Jakarta: Lentera Hari, 2002), h. 487
[8] Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an JIlid 12
(Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 332
[9] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Jilid 15
(Jakarta: Gama Insani Press, 2014), h. 655
[10] ‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar Jilid 4
(Jakarta: Qisthi Press, 2008), h. 653
[11] Aam Amiruddin, Tafsir Al-Qur’an Kontemporer(Bandung:
Shofiemedia, 2007), h. 171
[12] Ibnu Jauzi, Op.Cit., h. 379
[13] Ibid, h. 172
[14] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Op. Cit., h. 170
[15] ‘Aidh al-Qarni, Op.Cit.
[16] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz ‘Amma (Jakarta: Gema Insani,
2015), h. 282
[17] Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar,
2016), h. 882
[18] Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Tafsir Juz ‘Amma (Bekasi:
Darul Falah, 2016), h. 443
[19] Muhammad Chirzin, Tafsir Al-Fatihah dan Juz
‘Amma (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, t.t), h. 46
[20] Wahbah az-Zuhaili, Op.Cit.
[21] Aam Amiruddin, Tafsir Al-Qur’an Kontemporer
(Bandung: Shofiemedia, 2007), h. 173
[22] Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an JIlid 12 (Jakarta: Gema
Insani, 2001), h. 333
[23] Ibnu Jauzi, Op.Cit., h. 380
[24] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 15 (Jakarta: Lentera Hari, 2002), h. 489
[25] ‘Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar Jilid 4
(Jakarta: Qisthi Press, 2008), h. 654
[26] Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar,
2016), h. 883
[27] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Op. Cit., h. 171