Selasa, 09 Mei 2017

Surat Asy-Syam (91)



Tafsir al-Hikmah
Surat Asy-Syam (91)


1.    Ayat ini dimulai dengan janji Allah Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Ayat ini menganjurkan kepada kita agar ketika memulai hari (beraktivitas) hendaklah diawali dengan pengakuan bahwa kita adalah makhluk, sama seperti matahari, yang kemudian ketika beraktivitas apa yang kita lakukan diharapkan memberi manfaat kepada sesama makhluk, seperti matahari di pagi hari yang menerangi bumi. Matahari penting bagi kehidupan[1] yakni cahayanya beserta manfaatnya.[2]
       Kata Dhuha dipahami oleh sementara ulama yang memahami kata ini pada ayat di atas dalam arti cahaya matahari secara umum, atau kehangatannya. Pendapat yang lebih tepat adalah waktu di mana matahari naik sehingga terbayang bagaikan meninggalkan tempat terbitnya dengan kadar sepenggalahan.[3]
2.    Dan bulan apabila mengiringinya menandakan bahwa matahari tidak sendiri dalam upayanya menerangi bumi. Apabila siang hari adalah waktu bagi matahari, maka malam hari adalah giliran bulan. Apabila matahari tenggelam, diikutilah dengan cahaya bulan.[4] Bulan mengiringinya (matahari) dalam peredaran dan cahaya.[5] Bulan seringkali mengikuti matahari dalam banyak hal. Sinar bulan yang memantulkan adalah dari cahaya matahari.[6] Bersumpah dan bulan apabila mengiringinya (matahari) dengan cahayanya yang halus dan lembut, indah dan jernih. Antara bulan dan hati manusia terdapat jalinan kasih sejak dahulu dan terhunjam dalam relung dan kedalamannya. Jalinan kasih yang melimpah ruah dalam semua sudut kalbu, yang menjadikan hati bangun dan tergugah ketika berjumpanya dengan kondisi apapun.[7]
       Pada ayat pertama ketika matahari hadir untuk membantu manusia beraktivitas, maka bulan dengan cahayanya yang lembut membuat manusia layak untuk istirahat di malam hari.[8] Apabila pada ayat pertama disebutkan manusia dapat melaksanan solat sunah dhuha, maka pada ayat ini menunjukkan waktu bagi mereka yang ingin melaksanakna solat sunah malam, yakni bisa solat tahajud, tarawih, serta witir.


[1] Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar, 2016), h. 868
[2] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: Al-Qowam, 2016), h. 126
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah JIlid 15 (Jakarta: Lentera Hari, 2002), h. 296
[4] Syaikh ‘Abdullah al-Khayyath, Tafsir Juz ‘Amma diterjemahkan oleh Herman Susilo (Jakarta: Griya Ilmu, 2016), h. 120
[5] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma (Sukoharjo: Al-Qowam, 2016), h. 126
[6] Ibid
[7] Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an JIlid 12 (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 280
[8] Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar, 2016), h. 868